Kartini dan Kekecewaan Saya Kepada PGN

Leave a Comment
Perayaan Kartini selalu tidak pernah lepas dengan yang namanya perempuan. Lah wong Kartini sendiri adalah perempuan. Lain halnya kalau namanya Kartono, sudah dipastikan bahwa itu adalah, ah sudahlah.

Ajang tahunan ibu-ibu yang saling tidak mau kalah ingin memamerkan anak-anaknya tampil dengan balutan kebaya agar terlihat paling ‘ayu’ itu, seakan sudah menjadi semacam ajang hegemoni perempuan untuk menunjukkan bahwa mereka sama. Ya, sama-sama perempuan, sama-sama ingin diperhatikan. Uhuk.

Itulah mengapa tiap kali hajatan Kartinian, ‘perempuan’ menjadi tema wajib yang harus dibahas. Makanya, karena ini pula saya pribadi jadi ingin nulis tokoh wanita yang dekat di kehidupan saya. Emak. Sekaligus mengungkapkan kekecewaan saya kepada pihak PT Perusahaan Gas NegaraTbk (PGN).

Pertama kamu perlu tahu, meski saya terlahir di generasi 90-an, di mana orang-orang sudah menggunakan kompor minyak maupun gas elpiji (meski belum banyak) untuk keperluan memasak sehari-hari, keluarga saya tetap menggunakan kayu bakar. Bukan karena belum bisa move on dari kayu bakar, tapi karena alasan politis dan ekonomis, bahkan saya bisa membahasnya secara ‘Ekopolsosbudham’. Mikir kan.

Begini kawan, saya memang hidup tidak di zaman di mana belum ditemukannya minyak tanah maupun gas elpiji yang orang-orang gunakan. Akan tetapi, minyak tanah yang semakin langka dan harganya yang terus melambung membuat orangtua saya memutuskan kembali ke zaman kayu bakar. Setelah sebelumnya sempat menggunakan minyak tanah.

Kembalinya keluarga saya menggunakan kayu bakar seakan menjadi duka bagi kehidupan masa kecil saya. Bukan hanya menyita waktu bermain saya yang sedikit menjadi lebih sedikit (lagi), tapi mencari kayu bakar seakan juga menjadi tugas wajib buat saya. Waktu bermain saya yang hanya sebatas sore untuk main bola di lapangan, saya gunakan hanya untuk mencari kayu bakar di kebun salah satu orang kaya di kampung saya. Jangan tanya luas kebunnya berapa. Saya sendiri tidak akan pernah mau kalau disuruh mengukurnya.

Gara-gara kayu bakar ini pula, saya sering kena omelan emak, tiap kali disuruh mencari kayu bakar. Alasannya klasik, “Entar dulu Mak”. Kalau sudah dapat wejangan dari emak, yang bisa saya lakukan hanya tetap berangkat mencari kayu sambil menggerutu, dan mencari pelaku utama yang harus saya salahkan. Siapa lagi kalau bukan pemerintah.

Apa pemerintah tidak bisa mencari solusi bagaimana mengatasi orang-orang macam keluarga saya yang tidak mampu membeli minyak tanah, apalagi elpiji. Hampir sepuluh tahun lebih saya memendam gerutuan seperti itu.

Kini, tepatnya beberapa hari lalu saya membaca di beberapa media kalau para ibu rumah tangga bisa menghemat anggaran belanjanya karena menggunakan gas bumi milik PT PGN Tbk. Bahkan, gas bumi PGN ini turut membantu para pelaku pengusaha UKM. Saya benar-benar kecewa, kenapa baru sekarang PGN muncul menolong  masyarakat Indonesia. Saya sudah lama menunggu hal seperti ini datang, sama lamanya dengan Cinta yang setia menunggu Rangga hingga akhirnya benar-benar bertemu di AADC 2.

Saya kecewa, PGN.

Dulu emak saya harus menarik urat terlebih dahulu sekadar menyuruh saya mencari kayu bakar. Kini, para mama di Papua sana malah asik memasak sesuka hati mereka menggunakan gas bumi milik kalian (PGN), 24 jam nonstop kalau mereka mau.

Saya kecewa, PGN.

Dulu, tiap menjelang lebaran saya selalu mendapat tugas memasak ketupat seharian penuh menggunakan kayu bakar, yang kalau kena asapnya bikin mata saya tidak berhenti berair. Kini, para pelaku UKM pembuat lontong di Surabaya sana makin bersinar, maju, dan sukses besar. Itu terjadi setelah kalian (PGN) menyalurkan sambungan pipa gas bumi ke kampung tersebut.

Saya kecewa, PGN.

Kenapa baru sekarang kalian menyalurkan gas-gas bumi tersebut. Seandainya sudah dari dulu, mungkin waktu bermain saya yang sedikit tidak bertambah sedikit karena terbuang untuk mencari kayu bakar.

Meski begitu, saya menyadari kalau kekecewaan saya kepada kalian (PGN) tidak akan berlangsung lama. Ini semua karena saya membaca berita itu secara mendadak, laiknya tahu bulat yang digoreng dadakan itu.

Setelah saya membaca lebih intensif, ternyata ini semua menjadi berkah tersendiri bagi rakyat Indonesia, tidak terkecuali saya. Hal tersebut terbukti dari berita yang saya rilis di dream.co.id yang menginformasikan bahwa hingga saat ini pelanggan PGN terus bertambah, di mana untuk rumah tangga saja sudah lebih dari 107.690 pelanggan, untuk usaha komersial dan usaha kecil sudah lebih dari 1.857 pelanggan, dan untuk industri serta pembangkit listrik sudah lebih dari 1.529 pelanggan.

Hal lain yang menyurutkan kekecewaan saya adalah dari sisi infrastruktur PGN, di mana panjang pipa gas bumi PGN termasuk pipa transmisi open access dan distribusi total sekitar 6.971 km. Panjang pipa ini merepresentasikan 76% dari panjang pipa gas hilir yang ada di Indonesia.

Bahkan yang paling membuat rasa kecewa saya terobati adalah melihat catatan tahun lalu PGN, di mana secara nasional PGN menyalurkan gas bumi sebanyak 1.586 juta kaki kubik per hari (MMSCFD). Ini setera dengan penggunaan 286.000 barel minyak per hari. Dengan penyaluran gas sebanyak 1.586 MMSCFD ini, potensi penghematan dari pemanfaatan gas yang dikelola PGN bagi nasional di 2015 sebesar Rp 88,03 triliun. Sekali lagi, mungkin jawaban dari rasa kecewa saya.



Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi

Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar