Acara Sarasehan Bersama Manajemen yang diselenggarakan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) terbagi dalam beberapa sesi diskusi. Pada sesi diskusi, sedikitnya ada tiga poin utama yang menjadi permasalahan selama ini. Permasalahan pertama terkait kebingungan dalam transformasi karena bisnis ini belum selesai proses.

Menanggapi hal tersebut, dewan direksi sebenarnya sudah memberikan job desk draft pertama ke semua kepala satuan kerja. Melalui pemberian job desk tersebut, diharapkan seluruh satuan kerja sudah memberikan masukan, di mana masukan nanti akan diolah kembali. Hal ini perlu dilakukan karena  memungkinkan ada satuan kerja yang ingin kegiatannya berkurang ataupun sebaliknya. 
Selain itu, sebelum transformasi sebetulnya dewan direksi juga sudah mengidentifikasi seluruh kegiatan yang ada di PGN, yaitu seluruh kegiatannya mencapai 260 kegiatan. Saat ini tim sudah mulai memilah, dan sedang dikonfirmasi ke kepala satuan kerja, tinggal nanti tim transformasi melakukan penyisiran.

Sementara permasalahan kedua terkait program transformasi ini adalah mengenai tagihan dan keterlambatan yang berkaitan dengan bisnis proses. Dalam hal ini, dewan direksi menegaskan bahwa tidak ada yang berubah dalam proses pembayaran. Proses di keuangan lancar, dan dewan direksi mengajak kepada teman-teman untuk mengerjakan bersama.

Lebih lanjut, mengenai masalah proses, dewan direksi sebetulnya sudah mengidentifikasi transformasi mulai Juni 2015 lalu, tetapi ada 350 paket pekerjaan yang harus diselesaikan sebelum transformasi terjadi. Artinya, ada transformasi atau tidak, pekerjaan itu sebetulnya sudah selesai sebelum bulan Juni.

Adapun masalah ketiga yang dibahas pada sesi pertama ini adalah mengenai pasar komersial yang masih kecil. Padahal jika diperbesar masih sangat memungkinkan untuk memperkuat portofolio PT PGN Tbk. Terkait masalah tersebut, dewan direksi sebenarnya sudah memiliki beberapa opsi yang sedang dirumuskan, antara lain akusisi advokat, dan berharap UIP (Unit Induk Proyek) bekerja lebih keras untuk mendapatkan tambahan pasokan, serta tidak melupakan untuk merebut pasar tetap ke pasar future.

Tiga poin permasalahan yang dibahas pada sesi pertama ini menunjukkan bahwa adanya acara Sarasehan Bersama Manajemen, menjadi jawaban atas kebingungan-kebingungan yang terjadi dengan adanya program transformasi ini.



Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
Pada acara Sarasehan Bersama Manajemen yang diselenggarakan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN), Komisaris PT PGN Tbk Iman Sugema juga turut memberikan sambutannya. Dalam sambutannya, Iman Sugema mengungkapkan bahwa sedikitnya ada tiga isu yang diangkat.

Isu pertama yang dibahas Iman adalah terkait bisnis yang sedang menurun, di mana ada kaitannya dengan finance crisis yang dihadapi. Melalui pertemuan ini, dia ingin memastikan apakah transformasi yang dilakukan mampu menjawab masalah tersebut. Dalam hal ini, menurut Iman perlu sebuah perusahaan yang mampu memberikan layanan lebih luas, termasuk Indonesia wilayah timur.

Kemudian yang menjadi isu kedua dalam pertemuan tersebut menurut Iman adalah bagaimana semua manajemen dan leader serta seluruh pegawai PGN dalam bersikap maupun bertindak terhadap transformasi.

Iman menyadari bahwa proses transformasi ini akan berjalan cepat. Maka dari itu, dirinya meminta direksi untuk melakukannya secepat mungkin. Artinya, tidak ada lagi kata refuse atau kembali ke belakang. Iman mengungkapkan hanya ada satu alternatif, yakni transformasi ini harus berjalan secepatnya untuk mengurangi berbagai macam risiko.

Lebih lanjut, Iman mengatakan ada beberapa catatan yang menurutnya substansial dan masih membingungkan. Salah satu yang menurutnya menjadi catatan adalah transformasi ini tidak didahului dengan mengisi bisnis proses terlebih dahulu. Bisnis proses baru akan selesai ketika transformasi ini berjalan. Hal ini yang menurut Iman menjadi risiko tersendiri, salah satunya adalah kebingungan antara teman-teman yang berpindah jabatan.

Adapun isu ketiga yang diangkat Iwan adalah mengenai banyaknya pemindahan atau pengalihan kepada anak perusahaan untuk operasional maupun projek manajemen. Dirinya tidak ingin lagi ada kesan ketika mengalihkan sumber daya manusia dari induk ke anak merupakan sebuah degradasi, melainkan justru kenaikan pangkat.



Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
Beberapa hari lalu, saya sempat menyaksikan video tentang PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang menggelar Sarasehan Bersama Manajemen di Auditorium Graha PGAS lantai 2, pada Rabu (2/9/2015) lalu. Dalam video yang diupload oleh Hariadhi ini mengangkat tema "Transformasi untuk PGN yang Lebih Baik".

Pertemuan ini merupakan suatu komunikasi antara para leader di PGN dengan seluruh manajemen. Dalam acara tersebut, turut hadir Direktur Utama PT PGN Tbk Hendi Prio Santoso, dewan komisaris, dewan direksi, serta jajaran manajemen PT PGN Tbk.

Pada acara tersebut, Dirut PT PGN Tbk Hendi Prio Santoso turut memberikan sambutan. Dalam sambutannya, Hendi Prio Santoso mengungkapkan bahwa setelah 3 bulan masuk dalam program transformasi, dirinya sudah berkeliling hampir ke seluruh cabang, dan bertemu dengan jajaran yang ada di seluruh wilayah untuk menjelaskan program transformasi ini.

Lebih lanjut, Hendi Prio Santoso menjelaskan tujuan acara tersebut adalah untuk mendengar masukan atau usulan dalam periode fase transisi. Dirinya mengakui masih butuh penyesuaian di dalam tubuh PGN, sehingga hal itu menjadi tugas bersama.

"Kita harus melihat dinamika apa yang dihadapi dalam berjalannya proses transformasi," ujar Hendi Prio Santoso.

Melalui pertemuan ini Hendi Prio Santoso juga berharap akan muncul usulun konstruktif, maupun percepatan bagaimana bisa mencapai tujuan dengan cepat dan selamat, bahkan kalau memang ada yang perlu dukungan dari pihak manajemen, seperti perubahan kebijakan atau penyesuaian kebijakan dirinya siap menerima usulan tersebut.



Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
Kalau lihat kalender, dan sudah masuk angka-angka mulai 20-an ke samping ingin rasanya buru-buru terlewati. Saya juga jadi ingat, beberapa hari lalu saya kedapatan lihat kalender teman kantor yang ada di mejanya sudah penuh tanda silang. Padahal tanggalnya hari itu (waktu saya lihat kalender) belum masuk tanggal yang sudah dicoret. Tapi sebagai seorang muslim, betawi tulen, seratus persen warga negara Indonesia, seratus persen pendukung dan pengamal Pancasila, serta bebas PKI #eh, saya tetap berhusnudzon. Mungkin teman saya mau ada acara, makanya tanggal segitu disilang.

Balik lagi ke tanggal 20-an. Senin kemarin atau tepatnya tanggal 23 Mei 2016, di saat saya sedang merasakan apa yang (mungkin) juga dirasakan orang-orang (tanggal tua), saya diajak sama teman-teman komunitas buat kumpul sekaligus ditraktir makan di Holycow Steak House yang ada di Kebon Jeruk. Demi menghargai ajakan teman saya itu (padahal memang lumayan mumpung gratis), saya menerima tawarannya.

Tepat jam 4 sore atau sepulang kerja saya langsung menuju ke Kebon Jeruk. Berhubung sore itu Jakarta diguyur hujan, akhirnya teman saya menyuruh untuk pesan Grab Car bareng teman-teman yang lain, dan tentu saja (juga) dibayari. Memang nasibmu yang sedang mujur nduk.
Bersama tema-teman komunitas saat makan di Holycow Steak House

Makan di Holycow Steak House bikin saya kembali penasaran dan mencari berita yang beberapa hari lalu bikin tempat makan ini sempat ramai di media sosial. Bukan maksud mengingat, tapi karena alasan itu yang justru bikin saya gatel buat nulis ini. Saya sendiri masih sangsi, masa cuma gara-gara cicak vs buaya, eh salah, cicak nyemplung semua orang jadi takut makan di situ.

Sangsi yang saya maksud begini, kasus cicak nyemplung (oalah cak…cak…) di cawan milik Mba Lamia saat makan tiramisu di Holycow apakah mempengaruhi netizen juga para penikmat kuliner parno buat makan di sana, atau memberi dampak terhadap Holycow itu sendiri, yang  menurut informasi, Holycow ada di mana-mana.

Mari kita belajar dari perilaku netizen Indonesia terhadap beberapa kasus sebelumnya, yang menurut saya mirip dengan kasus Holycow ini. Masih ingat kasus Sonya E Depari? siswa yang mengaku anak jenderal dari Badan Narkotika Nasional (BNN). Gara-gara aksinya, netizen ramai-ramai membully hingga Sonya mengalami trauma dan takut keluar rumah.  Tapi beberapa waktu kemudian apa yang terjadi? Sonya justru diangkat menjadi Duta Anti Narkoba di Medan.

Selanjutnya kita lihat kasus Zaskia Gotik yang dinilai melecehkan Pancasila, kita juga tahu kasus ini benar-benar heboh. Gara-gara kasus tersebut, pemilik ‘goyang itik’ ini tidak hanya mendapat bullyan dari para netizen, tapi juga membuat dirinya berurusan dengan pihak kepolisian. Tapi apa yang kemudian terjadi lagi? Zaskia Gotik malah dinobatkan menjadi Duta Pancasila. Setelah itu, kasus yang menimpa dirinya redam begitu saja.

Dua kasus yang saya sebutkan ini membuktikan sifat masyarakat Indonesia yang gampang bereaksi terhadap sesuatu yang terjadi, tetapi juga mudah lupanya.

Lalu bagaimana dengan Holycow? Hasilnya (juga) tak jauh berbeda. Ini karena saya sendiri yang melihat langsung suasana Holycow saat makan di sana.

Pengunjung yang tetap ramai membuktikan bahwa berita tersebut
tidak berpengaruh terhadap masyarakat
Pertama, kehebohan soal Holycow ini akan segera hilang, paling bertahan selama dua sampai tiga hari saja, kemudian tertutup sama berita lain yang lebih heboh, kayak berita Pakde Harto yang mau jadi Pahlawan Nasional. Apalagi reaksi cepat yang dilakukan pihak Holycow milik Chef Afit ini dengan menarik vendor tersebut, dan menghubungi si Mba Lamia untuk menyampaikan tanggung jawab juga sudah tepat. Artinya masalah ini memang telah selesai.

Kedua, Holycow tetap menjadi tempat makan yang banyak disukai masyarakat. Konsep Holycoow yang untuk semua kalangan, kualitas daging yang disajikan juga daging yang terbaik, ditambah Holycow sudah tersertifikasi halal. Kalau saya perhatikan waktu makan di sana, terbukti dengan jumlah pengunjung yang ramai, setiap ada meja yang kosong langsung diisi sama pengunjung baru.
Menu pesanan saya di Holycow: Wagyu Tenderloin Medium.
Oh ya, semua makanan di Holycow Steak House ini
bersertifikat halal, jadi aman

Ketiga, Holycow Steak House akan tetap menjadi tempat makan yang nyaman. Selain karena kualitas makanannya, harganya yang terjangkau, Holycow Steak House juga menyediakan parkiran yang sangat luas. Ngaku aja, kadang kita males dan tidak jadi mampir makan kalau liat parkirannya saja sudah penuh. Apalagi di Holycow Steak House tempat saya makan, juga menyediakan sarana ibadah (musola) yang baik. Ini juga penting, jarang sekali saya mendapati tempat makan yang menyediakan sarana ibadah, sekalipun ada (biasanya) tempatnya seadanya.

Ini salah satu layanan yang diberikan Holycow.
Katanya, pak SBY, dan Anang - Ashanty pernah order juga
Keempat, Holycow akan mendapat keuntungan. Saya percaya kalau berita tentang Holycow muncul justru membuat Holycow semakin terkenal. Bukan tidak mungkin setelah berita tersebut muncul orang akan penasaran datang ke Holycow untuk melihat dan tentu saja makan steak yang beneran steak. Saya sendiri membuktikannya ketika kasus Zaskia Gotik. Meski saya seorang yang seratus persen pendukung dan pengamal pancasila, saya (juga) yang termasuk tidak tahu lambang sila ke lima, tapi gara-gara Zaskia Gotik, saya jadi penasaran dan mencari di google lambang Pancasila.

Jadi menurut saya, kita jangan terlalu serius lah menanggapi suatu hal, biasa saja. Toh, mau serius atau tidak, ketika napas di dompet sudah senin-kamis, kemudian ada tawaran makan gratis, kalian tetap bakal ndak bisa nolak, kan?
Pada postingan sebelumnya, saya membahas tentang pemerintah melalui Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) yang kembali menugaskan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) untuk membangun jaringan gas (Jargas) rumah tangga ke 21.000 sambungan rumah di Tarakan, Kalimantan Utara. Selengkapnya bisa dibaca kembali di sini!

Dalam tulisan tersebut saya juga sempat memaparkan panjang pipa yang dimiliki dan dioperasikan PGN hingga April 2016 ini telah mencapai lebih dari 7.000 kilometer (Km). Dengan panjang pipa transmisi dan distribusi gas bumi tersebut, PGN mengoperasikan lebih dari 76% pipa gas bumi hilir di seluruh Indonesia. Berdasarkan data tersebut, saya juga mengungkapkan masih sangat memungkinkan pihak PGN untuk menambah jaringan pipa gasnya.

Hal ini terbukti benar, bahkan masyarakat di daerah yang belum mendapat jaringan gas tidak perlu menunggu lama untuk mendapat pasokan  gas bumi milik PGN ini. Adapun daerah yang kali ini mendapat jaringan gas bumi PGN adalah daerah Surabaya, tepatnya di Kelurahan Kedung Asem, Kecamatan Rungkut. Hal tersebut dapat dilihat saat peresmian dan groundbreaking jaringan gas (Jargas) rumah tangga di Surabaya oleh Menteri ESDM Sudirman Said, didampingi Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini beserta jajaran direksi PT PGN Tbk pada Senin (02/5/2016) kemarin.

Melihat kenyataan yang ada di lapangan, membuktikan bahwa pemerintah memiliki komitmen yang kuat dalam menyediakan energi bersih. Salah satu bukti konkretnya adalah groundbreaking proyek pembangunan 24.000 sambungan gas rumah tangga untuk 14 kelurahan di Kota Surabaya ini tepatnya. Bahkan, jika menilik ke belakang, pada tahun 2009 lalu, pemerintah telah menyambungkan 2.900 jaringan gas di Kelurahan Kali Rungkut dan Rungkut Kidul, di mana pengelolaan dan pengoperasiannya juga dikelola pihak PT PGN Tbk.

Kepercayaan yang diberikan pemerintah tidak cukup sampai di situ. Pada 29 Februari 2016, dalam Penandatanganan Kontrak Kegiatan Strategis Tahap III Tahun Anggaran 2016 Kementerian ESDM, pemerintah mendeklarasikan penugasan kepada PGN untuk mengerjakan proyek senilai kontrak Rp285,21 miliar tersebut, dengan sambungan pipanya sepanjang 167.506 meter.

Pemerintah juga memandati PGN untuk mengelola dan mengoperasikan total 43.000 sambungan Jargas rumah tangga yang dibangun di 10 kota lainnya, yakni di Bogor, (rumah susun) di Jabodetabek, Cirebon, Palembang, Depok, Tarakan, Bekasi, Blora, Semarang, dan Sorong.

Kepercayaan yang diberikan pemerintah rupanya tidak membuat pihak PT PGN Tbk menjadi besar kepala. Justru dengan berbagai tugas yang diberikan Kementerian ESDM, pihak PT PGN Tbk merasa terpacu untuk memberikan pelayan maksimal. Bahkan, PGN memiliki program khusus, yakni “PGN Sayang Ibu”.

Melalui program PGN Sayang Ibu ini, PGN akan membangun 110.000 Jargas rumah tangga dengan dana sendiri atau tanpa APBN. Hal ini membuktikan bahwa selain memiliki komitmen yang kuat, yakni terus berupaya memperluas pemanfaatan energi yang efisien, ramah lingkungan, dan tanpa impor, PGN juga merupakan perusahaan yang mandiri.

Sumber:



Tulisan ini disumbangkan untuk jadi situs Si-Nergi
Berbicara gas bumi dan infrastruktur, saya teringat ucapan Menteri Energi Sumber Daya Mineral, Sudirman Said saat meresmikan infrastruktur di Batam pada 2015 lalu. Dalam sambutannya, dia mengungkapkan bahwa dirinya tidak ingin pemerintah mengulang kesalahan dalam mengurus soal minyak, di mana ketika itu cadangan minyak Indonesia masih besar dan masih eksportir, namun pemerintah lupa membangun infrastruktur sarana pengolahan, terus menyusut hingga tidak ada importir, infrastruktur belum siap tetapi sumbernya sudah turun. Hal ini membuat pemerintah kena dua kali, yakni sumber daya dan produk masih diimpor. Sementara untuk menyimpannya saja Indonesia belum memiliki sarana.

Belajar dari pengalaman sebelumnya, rupanya pemerintah tidak ingin kekeliruan tersebut juga dialami oleh gas. Maka dari itu, Menteri Sudirman Said mengajak kepada Direktur Utama PGN Hendi Prio Santoso dan jajaran terkait untuk mengawal dan terus mendorong disertifikasi.

Pernyataan Menteri Sudirman Said rupanya bukan sekadar janji manis dalam sebuah pidato. Hal ini terbukti dengan PT Perusahaan Gas Negara (Persero) Tbk (PGN) yang terus gencar menambah infrastruktur jaringan pipa gas bumi nasional. Bahkan dari data yang dilansir detik.com, total panjang pipa yang dimiliki dan dioperasikan PGN hingga April 2016  telah mencapai lebih dari 7.000 kilometer (Km). Dengan panjang pipa transmisi dan distribusi gas bumi tersebut, PGN mengoperasikan lebih dari 76% pipa gas bumi hilir di seluruh Indonesia.

Berdasarkan data yang dipaparkan hingga bulan April kemarin, masih sangat memungkinkan pihak PGN untuk menambah jaringan pipa gasnya. Apalagi baru-baru ini pemerintah melalui Kementerian ESDM kembali menugaskan PT PGN Tbk untuk membangun jaringan gas (Jargas) rumah tangga ke 21.000 sambungan rumah di Tarakan, Kalimantan Utara. Sambungan gas rumah tangga sebanyak ini meliputi 7 sektor di 6 kelurahan, yakni Kelurahan Kampung 1 Skip, Kelurahan Gunung Lingkas, Kelurahan Karang Anyar, Kelurahan Pamusian, dan Kelurahan Selumit.

Saat ini, sudah terdapat sebanyak 3.366 rumah tangga di Tarakan yang memanfaatkan energi baik gas bumi dari PGN. Rumah tersebut berada di Kelurahan Sebengkok dan Kelurahan Karang Balik, Tarakan. Jaringan gas tersebut juga dibangun Kementerian ESDM pada 2010, kemudian pengelolaanya dipercayakan kepada PGN.

Pembangunan jaringan gas (Jargas) di Tarakan ini tentunya menjadi bentuk upaya pemerintah yang semakin agresif membangun infrastruktur gas bumi, sehingga dapat meningkatkan pemanfaatan produksi gas bumi nasional. Apalagi, PGN menargetkan mulai tahun ini hingga 2019 akan menambah infrastruktur pipa gas bumi sepanjang lebih 1.680 Km. Proyek pipa tersebut tersebar di berbagai daerah, di antaranya adalah proyek pipa transmisi open access Duri-Dumai-Medan, pipa transmisi open access Muara Bekasi-Semarang, pipa distribusi Batam (Nagoya) WNTS-Pemping, dan pipa distribusi gas bumi di wilayah eksisting dan daerah baru lainnya.

Melihat target yang diusung PGN dan didukung dengan aksi nyata seperti itu, rasanya bukan tidak mungkin target tersebut dapat tercapai. Tentunya dukungan dari berbagai pihak, termasuk masyarakat juga penting, sehingga pemanfaatan atau penggunaan gas bumi semakin dirasakan masyarakat Indonesia.

Sumber:


Tulisan ini disumbangkan untuk jadi situs Si-Nergi
Perkembangan ilmu pengetahuan yang semakin maju, perputaran waktu yang terasa begitu cepat, serta rutinitas yang padat, membuat seseorang dituntut untuk bergerak cepat. Padatnya rutinitas yang ada ini juga terkadang membuat seseorang merasa terganggu untuk mengurusi pekerjaan yang tergolong ringan. Sayangnya, pekerjaan ringan ini justru menjadi tugas wajib, misalnya membayar listrik, air, maupun telepon, termasuk bagi pelanggan yang harus membayar tagihan gas bumi PGN.

Tugas ringan seperti itu yang kadang memang mengganggu rutinitas sehari-hari. Namun, bukan berarti hal tersebut tidak memiliki solusi. Saat ini sudah banyak perusahaan yang memberikan kemudahan konsumen atau pelanggannya dalam melakukan transaksi, seperti yang dilakukan oleh PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).

Jika dulu para pelanggan PGN harus pergi ke bank dan mengantri hingga hitungan jam untuk membayar tagihan gas bumi  PGN,  kini para pelanggan PGN cukup melakukannya hanya dengan datang ke minimarket terdekat. Prosesnya pun tidak sulit, pelanggan cukup datang ke kasir, kemudian menyebutkan nomor identitas, nama, pelanggan, serta besaran tagihan. Cukup mudah bukan? Semudah belanja di minimarket.

Terus berupaya memberikan kemudahan bagi pelanggannya, termasuk dalam hal transaksi pembayaran atau tagihan membuktikan bahwa PGN sebagai perusahaan milik BUMN (Badan Usaha Milik Negara) terus berinovasi dalam memberikan pelayanan yang maksimal.

Selain memberikan kemudahan pelanggannya dengan menyediakan pembayaran tagihan di minimarket, sebelumnya kemudahan juga sudah bisa dirasakan oleh pelanggan gas bumi PGN. Selain di minimarket, pembayaran tagihan gas bumi bisa dilakukan melalui bank dengan datang ke teller, atau melalui mesin ATM, maupun lewat internet banking. Dengan begitu, rutinitas pelanggan gas bumi PGN tidak terganggu, karena dapat membayar tagihan gas bumi PGN bisa sekaligus belanja di minimarket atau saat sedang santai dengan cukup membuka internet banking.


Sumber:


Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
Pesantren adalah sesuatu yang dekat dengan kehidupan saya. Hal ini karena jarak tempat tinggal saya tidak jauh dari salah satu pesantren besar yang ada di Bekasi. Nama pesantrennya adalah Pondok Pesantren Attaqwa. Pesantren yang didirikan oleh ulama besar sekaligus mendapat gelar pahlawan nasional, yakni K. H. Noer Alie ini terdiri dari dua pondok yang berjarak sekitar satu kilometer, masing-masing untuk santri (putra) dan santriwati (putri).

Hampir tiap tahun Pesantren Attaqwa ini tidak pernah sepi kedatangan santri maupun santriwati baru, baik dari dalam maupun luar daerah. Hal ini menimbulkan pertanyaan tersendiri bagi saya yang notabene belum pernah merasakan kehidupan pesantren, yakni terkait soal mengurusi makan bagi para santri maupun santriwati tersebut. Apalagi dengan jumlah santri maupun santriwati yang begitu banyak, menuntut pihak pengelola pesantren untuk cerdik dalam mengatur pengeluaran.

Belum sempat saya mencari tahu, tiba-tiba saya mendengar informasi tentang beberapa pesantren di daerah Jawa Timur yang berhasil menghemat anggaran pengeluarannya hanya karena mulai beralih menggunakan gas bumi PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Bahkan, ada juga pesantren yang beralih menggunakan kompor biomassa (pellet).

Salah satu pesantren yang menggunakan kompor biomassa (pellet) ini adalah Pondok Pesantren Nurul Huda. Jika dulu pesantren yang terletak di Bendungan Tengah, Keraton, Pasuruan, Jawa Timur ini menggunakan LPG (terkadang minyak tanah) untuk memenuhi kebutuhan memasak 250 santriwati dan menggunakan kayu bakar untuk memenuhi kebutuhan memasak 200 santri, kini setelah beralih menggunakan kompor biomassa (pellet) dari PGN, pesantren tersebut justru mendapat banyak keuntungan. Selain biayanya yang lebih murah dibanding menggunakan kayu bakar atau minyak tanah, kompor biomassa (pellet) ini lebih efisien dan ramah lingkungan. Selain itu, jika menggunakan kayu bakar atau minyak tanah akan menghasilkan asap yang mengganggu kesehatan para santri maupun santriwati, hal ini justru berbeda dengan kompor biomassa (pellet) yang tidak menghasilkan asap, sehingga aman bagi kesehatan para santri maupun santriwati.

Manfaat-manfaat yang dihadirkan kompor biomassa PGN ini tidak lepas dari bahan bakar yang digunakan, yakni berupa pellet, yang  berasal dari limbah pertanian, seperti bonggol jagung, jerami padi, serbuk gergaji, kayu dan lainnya yang melalui proses pemadatan. Perlu diketahui bahwa pellet ini adalah bahan bakar yang merupakan salah satu contoh energi terbarukan.

Selain Pondok Pesantren Nurul Huda, saya juga mendapat informasi tentang pesantren yang mampu menghemat setelah beralih menggunakan gas bumi PGN. Masih di daerah Jawa Timur, kali ini di Surabaya terdapat salah satu pesantren, namanya Pondok Pesantren Terpadi Darul Muttaqin yang selama lima tahun terakhir sudah tidak lagi kesulitan mencari isi ulang tabung LPG. Alasannya karena pihak pengelola pesantren sudah beralih memasak menggunakan gas bumi PGN.

Berdasarkan keterangan yang saya dapat dari beberapa media, pengeluaran Pondok Pesantren Nurul Huda setelah menggunakan gas bumi PGN berada di kisaran Rp900 ribu hingga Rp1,2 juta. Padahal sebelumnya, pengeluaran yang dilakukan pihak pesantren mencapai Rp1,5 juta. Ini menunjukkan bahwa dengan menggunakan gs bumi PGN, Pesantren Nurul Huda berhasil menghemat hingga Rp300 ribu perbulan. Apalagi selain hemat, gas bumi PGN juga nyaman, karena dapat digunakan 24 jam.

Sumber:

Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
Tulisan saya kali menanggapi pembahasan Mas Fadli, yang mengatakan bahwa Natuna sebagai salah satu daerah pemilik cadangan gas bumi terbesar, tetapi belum banyak dinikmati oleh masyarakat, khususnya masyarakat sekitar. Hal ini menurutnya mengherankan karena yang menikmati manfaat tersebut justru negara tetangga, seperti Singapura.

Menanggapi pernyataan Mas Fadli, hal ini memang menjadi ironi tersendiri bagi kita bangsa Indonesia, khususnya saya secara pribadi. Bagaimana tidak, negara yang memiliki kekayaan energi yang melimpah, justru tidak bisa dinikmati oleh si pemiliknya, justru memilih untuk mengekspor ke negara tetangga, yakni Singapura.

Saya ingin menggarisbawahi kenapa masyarakat di Natuna yang notabene tinggal di daerah memiliki cadangan gas bumi terbesar belum bisa memanfaatkan secara utuh cadangan gas bumi tersebut. Dalam hal ini saya ingin kita melihat kembali komentar dari Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said saat meresmikan infrastruktur gas bumi di Batam pada 2015 lalu. Dalam penjelasannya, Menteri Sudirman Said akan melihat terlebih dahulu kondisi di lapangan yang terbaru, kemudian mengundang semua pihak untuk mencari solusi. Apalagi menurut Menteri Sudriman Said, dari segi infrastruktur Indonesia sudah siap, ditambah ketersedian gas bumi di sekeliling juga sudah ada. Artinya, masalah yang dihadapi hanya tinggal bagaimana keputusan yang akan diambil pemerintah.

Berdasarkan pernyataan dari menteri ESDM ini, saya rasa apa yang dilakukan Menteri Sudirman Said sudah tepat. Hal ini karena permasalahan di Natuna tidak bisa diselesaikan sendiri, butuh koordinasi yang baik dari berbagai pihak, dan itu sudah dilakukan dan dibuktikan dengan berbagai capaian PGN yang kini sudah mengalirkan gas bumi ke dalam negeri, baik untuk rumah tangga, perhotelan, pesantren, maupun industri. Bahkan, bukan hanya di kota-kota besar, tetapi daerah-daerah yang memang selama ini mengalami kekurangan energi.

Sementara menanggapi pernyataan lain dari Mas Fadli yang mangatakan bahwa kenapa Singapura selaku negara tetangga justru lebih menikmati gas bumi dalam negeri. Dalam hal ini, saya ingin kita (juga) melihat kembali pernyataan Menteri ESDM, yang mengungkapkan bahwa pemerintah belum memiliki satu visi yang besar bagaimana meningkatkan konsumsi gas bumi dalam negeri. Namun, belum memiliki visi di sini  bukan berarti pemerintah berdiam diri membiarkan gas bumi dalam negeri dinikmati negara luar, melainkan berupaya dan bekerja keras mengarahkan gas bumi dalam negeri sebagian besar untuk konsumsi domestik, tetapi juga tetap melayani kebutuhan ekspor.

Dalam pemaparannya yang lain, Menteri Sudirman Said juga menjelaskan terkait masalah ekspor ini. Menurutnya, pemerintah mempunyai kontrak yang harus dihormati, tetapi tetap melihat kembali seperti apa kontraktualnya. Kalau memang bisa diarahkan kembali ke tempat lain, pasti akan diarahkan. Akan tetapi, jika kewajibannya untuk jangka panjang, pemerintah harus menghormati kontrak.

Berdasarkan uraian yang saya paparkan, dapat saya simpulkan bahwa persoalan di Natuna bukan semata masalah belum maksimalnya masyarakat di sana mendapat manfaat dari gas bumi, juga bukan masalah gas bumi dalam negeri dinikmati negara luar, tetapi ada beberapa pertimbangan yang memang harus diputuskan bersama dan tanpa mengurangi hubungan kerjasama dengan negara lain. Meski demikian, saya tetap mengapresiasi apa yang ditulis Mas Fadli yang menyebutkan bahwa belakangan ini, permasalahan di Natuna menjadi perhatian PGN, yang dalam hal ini serius mengembangkan pemanfaatan gas bumi yang ada di Natuna dengan menjadikan kepentingan rakyat Natuna sebagai yang utama.

Artikel ini untuk merespon tulisan M. Fadli tentang Gas Bumi PGN Kado Terindah untuk Rakyat Natuna 


Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
Ulasan saya mengenai gas bumi, PGN, maupun energi baik masih berlanjut. Kali ini saya mampir di laman blog milik Mbak Hetty, di mana salah satu tulisannya membahas tentang keberadaan FSRU Lampung yang menurutnya dianggap mampu meningkatkan LNG domestik menarik minat saya. Setelah sebelumnya saya pernah membahas tentang pentingnya LNG bagi Indonesia,  dan mengulas tulisan Mbak Ihda yang mengatakan bahwa LNG layak menjadi pertimbangan untuk mencapai swasembada energi domestik.

Secara garis besar, sebenarnya tulisan Mbak Hetty hampir sama dengan yang ditulis Mbak Ihda, yakni sama-sama menanggapi tentang penerimaan kargo kedua FSRU Lampung dari Papua. Namun, yang menarik bagi saya di tulisan Mbak Hetty ini bukan lagi terkait masalah LNG, tetapi lebih kepada data yang dipaparkan.

Dalam tulisan Mbak Hetty, dia memaparkan bahwa Indonesia yang sebelumnya merupakan salah satu eksportir LNG terbesar, mengalami penurunan pangsa pasar LNG global karena reorientasi kebijakan pemerintah Indonesia yang menargetkan lebih banyak suplai gas untuk pasar domestik dalam konteks meningkatkan penggunaan gas sebagai sebuah sumber energi (dengan mengurangi ketergantungan terhadap minyak).

Sebelumnya saya ingin mengungkapkan bahwa saya sepakat dengan  pernyataan Mbak Hetty yang mengatakan bahwa keberadaan FSRU Lampung merupakan salah satu bentuk keberhasilan pemerintah yang dalam hal ini melalui PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) untuk pembangunan infrastruktur gas bumi dalam negeri.

Hal yang menurut saya menarik dalam pernyataan Mbak Hetty adalah pada paragraf kesimpulan yang dia tulis. Dalam tulisannya, dia mengungkapkan bahwa melalui pembangunan infrastruktur seperti FSRU Lampung ini, ketahanan energi akan semakin kuat dan ekonomi dapat tumbuh berkelanjutan dalam jangka panjang. Dia juga mengungkapkan bahwa pemerintah Indonesia bertujuan untuk membatasi ekspor gas negara dalam rangka mengamankan suplai domestik sambil mendorong penggunaan gas bumi sebagai sumber bahan bakar untuk konsumsi industri dan personal.

Menanggapi pernyataan tersebut, terlebih dalam hal ekspor gas negara, membuat saya melihat kembali video peresmian infrastruktur gas di Batam yang dilaksanakan pada 30 Januari 2015 silam oleh Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, jajaran manajemen PGN, serta aparat pemerintah setempat. Dalam video yang diupload oleh Hariadhi ini menampilkan konferensi pers yang dilakukan Menteri ESDM dan Direktur Utama PGN Hendi Prio Santoso.

Dalam konferensi pers tersebut, Menteri Sudirman Said  juga sempat membahas masalah kebijakan ekspor, di mana dia mengungkapkan bahwa dulu memang sempat ramai isu bahwa gas-gas Indonesia lebih banyak diekspor daripada digunakan dalam negeri. Menurutnya, hal tersebut dapat terjadi karena yang mendevelop gas selalu orientasinya ke luar. Artinya, saat itu pemerintah memang belum mempunyai satu visi yang besar bagaimana meningkatkan konsumsi gas dalam negeri.

Dalam pernyataannya juga, Menteri Sudirman Said mengungkapkan bahwa pihaknya yang dalam hal ini menggangandeng PGN bekerja keras supaya mengarahkan gas bumi untuk konsumsi domestik, yang mana tetap melayani kebutuhan ekspor untuk keseimbangan, salah satunya dengan infrastruktur, seperti dengan menyambung jaringan pipa Kalimantan – Jawa maupun seluruh Sumatera dan Jawa, kemudian tempat-tempat yang ada gasnya, kalau tidak mungkin dengan pipa, bisa melalui LNG. Itu semua merupakan rencana yang dicanangkan Kementerian ESDM.

Kini, mendengar penyataan Menteri Sudirman Said pada awal 2015 lalu dan membaca tulisan Mbak Hetty, saya merasa gembira karena hal tersebut menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi gas bumi dalam negeri melesat cepat.

Satu hal di sini yang nampaknya perlu saya tekankan, yaitu pernyataan Mbak Hetty terkait langkah pemerintah yang terus mengurangi ekspor LNG nasional dengan memprioritaskan pada konsumsi dalam negeri sejatinya bukan benar-benar menutup rapat-rapat pintu ekspor LNG, melainkan lebih kepada upaya penyeimbangan.

Artikel ini untuk merespon tulisan Hetty tentang FSRU Lampung Tingkatkan Serapan Energi LNG Domestik


Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
Setelah mencari informasi lebih mendalam tentang gas bumi, PGN, dan energi alternatif, serta menemukan cerita-cerita menarik tentang hubungan (awas Baper) antara pelanggan gas bumi PGN dengan PT Perusahaan Gas Negara (PGN) selaku pemasok gas bumi. Kali ini saya menemukan kisah yang sedikit berbeda dari laman blog milik Mbak Ihda, yakni tentang Floating Storage and Regasification Unit (FSRU) Lampung yang kembali menerima kargo kedua LNG (Liquefied Natural Gas) atau gas bumi cair dari Papua.

Sebenarnya saya sendiri sudah mengetahui informasi tentang penerimaan kargo kedua LNG ini. Bahkan, saya juga sempat menulisnya di blog. Namun, yang menarik dari tulisan Ihda Aulianisa ini adalah bagaimana dia mengaitkan antara penerimaan LNG dengan swasembada energi.

Membaca judulnya saja, saya menemukan penempatan diksi yang menurut saya elegan. Jujur saja, mendengar kata ‘swasembada’, pasti yang lebih dulu terlintas adalah ‘pangan’. Saya rasa hal tersebut wajar, karena ketika membaca kata ‘swasembada’ yang terlintas di pikiran saya juga kata ‘pangan’.

Bayangkan, gara-gara judul yang ditulis Mbak Ihda ini, saya sampai membuka kembali Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) hanya untuk memastikan pengertian kata ‘swasembada’ dan ‘pangan’. Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, saya menemukan bahwa yang dimaksud dengan ‘swasembada’ adalah usaha mencukupi kebutuhan sendiri (beras dsb). Sementara yang dimaksud ‘pangan’ adalah makanan; olahan makanan jadi yang diolah untuk diperdagangkan. Berdasarkan hasil penelusuran tersebut, membuktikan bahwa kita (saya anggap termasuk) tidak keliru mengaitkan kata ‘swasembada’ dengan ‘pangan’.

Perlu saya jelaskan bahwa penelusuran saya ini bukan semata-mata ingin mencari siapa yang benar dan siapa yang salah, tetapi lebih kepada ketertarikan saya dengan diksi yang ditulis Mbak Ihda yang menurut saya menarik dan memilki ambiguitas.

Dalam penjelasannya, kata ‘swasembada’ disandingkan dengan kata ‘energi’. Artinya, jika merujuk ke KBBI, swasembada energi yang dimaksud Mbak Ihda adalah upaya pemerintah yang dalam hal ini melalui PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) memenuhi kebutuhan energi domestik. Saya sepakat dengan pendapat Mbak Ihda bahwa saat ini swasembada energi domestik sangat dibutuhkan mengingat kebutuhan akan energi di Indonsia yang semakin meningkat. Saya juga sepakat bahwa pemerintah perlu mempertimbangkan energi LNG untuk mencapai swasembada energi ini.

Alasan saya memilih LNG sebagai bahan pertimbangan pemerintah mencapai swasembada energi karena melihat keunggulan yang ada pada LNG. Jika melihat pada sisi perekonomian saja, LNG memiliki berbagai keunggulan. Hal ini karena materi LNG sangat mudah dalam proses penyimpanan dan pengangkutannya dari satu kilang gas ke tempat yang membutuhkan. Selain itu, LNG juga sangat ekonomis karena cukup dikirimkan via kapal tanker tanpa membangun pipa bawah laut. Sama seperti yang dilakukan FSRU Lampung.

Keunggulan dari LNG ini juga dapat kita lihat dari banyaknya penggunaan gas, karena secara praktis gas dapat menjadi bahan bakar kendaraan, industri, pembangkit listrik, serta bahan baku pembuatan pupuk. Satu lagi yang harus kamu tahu, LNG ini tidak mudah terbakar dan mudah untuk diangkut. Ini karena LNG merupakan energi yang ramah lingkungan, di samping harganya lebih murah atau efisien dibandingkan minyak mentah.

Alasan-alasan itulah yang melatarbelakangi saya sependapat dengan Mbak Ihda bahwa LNG dapat menjadi alternatif pemerintah dalam mencapai swasembada energi.

Artikel ini untuk merespon tulisan Ihda Auliaunnisa tentang FSRU Lampung dan Swasembada Energi

Sumber:



Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
Penelusuran saya terkait gas bumi, PGN, maupun energi alternatif kembali menemukan kisah yang menurut saya menarik. Pada laman blog milik Mbak Fitri, saya menemukan kisah srikandi Sorong yang terbantu dengan penyaluran gas bumi dari PT Perusahaan Gas NegaraTbk (PGN). Para srikandi di Sorong, Papua Barat, kini dapat menikmati gas bumi dari perusahaan milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini.

Dalam tulisan tersebut, penulis mengungkapkan manfaat penyaluran gas bumi PGN di daerah Sorong, yang mana para kaum wanita di sana tidak perlu lagi bersusah payah mencari kayu bakar, minyak tanah, atau tabung gas elpiji yang bukan hanya langka, namun juga harganya mahal. Sekadar informasi, harga elpiji 12 kilogram di Sorong mencapai Rp500 ribu.

Berkat penyaluran gas bumi PGN ini pula, kini para mama di lima kelurahan di Sorong tidak hanya merasa terbantu dalam hal memasak, melainkan dapat menghemat biaya pengeluaran rumah tangga  sehari-hari. Ini tidak lepas karena gas bumi yang dialirkan PGN bukan hanya murah, namun juga dapat digunakan 24 jam.

Bicara manfaat penggunaan gas bumi PGN kita memang merasa menemukan sebuah oase di tengah padang pasir. Saat dunia, termasuk Indonesia sibuk mencari energi alternatif untuk mengganti bahan bakar minyak yang cadangannya semakin menipis, PGN hadir membawa energi alternatif tersebut.

Cerita Mbak Fitri tentang Srikandi Sorong yang terbantu dengan kehadiran gas bumi PGN hanyalah sebagian kecil. Menurut saya masih banyak rumah-rumah di beberapa daerah yang kini juga sudah merasakan manfaat aliran gas bumi PGN. Terlebih mereka merupakan pelanggan yang sudah lama menggunakan gas bumi PGN. Saya ambil contoh yang ada di Rumah Susun Kebon Kacang, Tanah Abang, Jakarta Pusat yang menjadi pelanggan setia selama hampir 31 tahun. Ini menunjukkan selama 31 tahun, PGN memasok gas bumi untuk kebutuhan memasak warga di sana. Hal lain yang juga membanggakan, selama 31 tahun memasok gas bumi, warga Rusun Keboon Kacang mengaku tidak pernah terjadi insiden. Kalaupun ada kerusakan pipa gas, petugas PGN sigap memperbaikinya.

Selain itu, manfaat gas bumi PGN juga tidak hanya dirasakan oleh ibu rumah tangga. Berdasarkan informasi yang saya terima dari berbagai media, gas bumi PGN justru kini memasok ke pelaku-pelaku Usaha Kecil Menengah, perhotelan, pondok pesantren, serta dunia industri. Hal ini membuktikan ucapan Direktur Utama PGN, Hendi Prio Santoso saat bersama Menteri Energi Sumber Daya Mineral meresmikan infratruktur gas di Batam pada 30 Januari 2015 lalu. Dalam sambutannya, Hendi Prio mengatakan bahwa peresmian tiga proyek yang dilakukan tahun lalu menjadi momentum positif dalam mendukung upaya pemerintah untuk mewujudkan konversi energi ke gas bumi.

Melihat komitmen dan upaya yang dilakukan PGN dalam mewujudkan konversi energi ke gas bumi sudah selayaknya mendapat apresiasi dari kita semua. Apalagi dengan melihat hasil kerja nyata yang dilakukan PGN, tentunya kita berharap pelayanan yang diberikan PGN tidak hanya berhenti sampai di Sorong, tetapi daerah-daerah lain juga dapat merasakan aliran gas bumi PGN, terutama daerah yang masih mengalami kesulitan dalam pemerolehan energi.

Artikel ini untuk merespon tulisan Nurfitria Harnia tentang Manfaat Gas Bumi Bagi Srikandi Sorong

Sumber:
http://finance.detik.com/read/2015/12/25/130408/3104219/1034/doa-dari-para-ibu-rumah-tangga-buat-pgn



Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
Beberapa hari ini saya sempat mengunjungi laman blog yang membicarakan tentang gas bumi, PGN, maupun energi alternatif. Banyak kisah menarik yang saya temukan seputar keterkaitan gas bumi PGN dengan masyarakat penggunanya. Salah satu kisah menarik tersebut saya temukan di laman blog milik Mabk Sheila. Pada laman tersebut, si empunya blog menceritakan kisah sahabatnya yang merasakan manfaat gas bumi PGN. Sebagai seorang blogger, hal ini menarik minat saya untuk menanggapi kisah yang diceritakan penulis blog tersebut, yang belakangan saya ketahui nama sahabatnya itu adalah Karina, mirip dengan nama teman kantor saya.

Secara garis besar, kisah Karina yang menggunakan gas bumi PGN memiliki keterkaitan dengan keinginannya menjadi seorang penerjemah. Bahkan dalam kisahnya, Karina ini rela berhenti bekerja dan memilih kembali ke rumahnya di Jakarta dengan menjadi penerjemah di rumah sambil mengurus keluarganya. Sebuah keputusan yang menurut saya sangat jarang dilakukan seseorang. Bagaimana tidak, di saat banyak orang rela meninggalkan keluarga atau orang-orang tercinta hanya untuk mencari pekerjaan dan mengejar karir, Karina justru rela melepas pekerjaannya dan keluar dari zona nyaman, hanya agar tetap bisa menjaga ayahnya di rumah.

Kembali ke hubungan kisah Karina dengan gas bumi PGN. Memilih berhenti bekerja, juga memutus anggaran biaya rumah Karina. Perilaku hidup hemat pun mulai coba dia lakukan, salah satunya dengan memilih masak di rumah ketimbang membeli makanan di luar. Untungnya, daerah tempat tinggal Karina yang terletak di Perumnas Klender – Jakarta Timur ini merupakan daerah yang mendapat  pasokan gas bumi PT. Perusahaan Gas Negara Tbk, sehingga dia tidak perlu lagi menenteng gas melon ke warung yang harganya relatif justru lebih mahal dengan gas bumi yang dipasok PGN. Hidup hemat yang dijalankan, salah satunya dengan memilih menggunakan gas bumi PGN inilah yang membuat dirinya mampu mengatur uang tabungannya hingga akhirnya dia mulai membangun karirn ya di bidang penerjemah.

Membaca kisah Karina, saya jadi teringat kisah Mpok Nyai yang pernah saya tulis. Saya yakin, alasan Mpok Nyai memilih menjadi reseller (versi offline), ketimbang membuat sendiri kue-kue yang dia jual bukan karena tidak bisa, melainkan biaya atau modal yang dikeluarkan. Modal menjadi penjual kue keliling memang tidak sedikit, ditambah biaya produksi, seperti penggunaan bahan bakar saat memasak kue tersebut tergolong besar. Inilah yang membuat Mpok Nyai lebih memilih sebagai marketing-nya saja.

Seandainya di daerah tempat tinggal saya sudah mendapat pasokan gas bumi PGN, sama seperti tempat tinggal Karina, mungkin Mpok Nyai tidak perlu lagi mengambil dagangannya dari orang lain, dan memilih untuk membuatnya sendiri. Jiak itu terjadi, Mpok Nyai tidak perlu lagi membagai keuntungannya dengan orang lain. Meski gas bumi PGN  sudah masuk daerah saya, namun saat ini baru sebatas daerah di ujung utara Bekasi. Saya yakin bahwa pihak PT PGN masih secara bertahap mengoperasikan jaringan gas bumi tersebut hingga sampai k daerah tempat tinggal saya, sehingga orang-orang di sekitar tempat tinggal saya juga merasakan manfaat gas bumi seperti yang dialami Karina.

Artikel ini untuk merespon tulisan Mbak Sheila tentang Kisah Karina dan Gas Bumi PGN 

Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
Setelah melakukan serangkaian kegiatan, Direktur Utama PT. Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) bersama Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said melakukan sesi tanya jawab dengan awak media sebelum melanjutkan berkunjung ke salah satu industri pembuatan tahu tempe yang mengguanakan gas bumi di Batam. Di depan awak media, Dirut PGN Hendi Prio Santoso menyampaikan bahwa kegiatan yang dilakukan di Batam merupakan peresmian pipa ruas Tanjung Uncang ke Panaran. Kegiatan tersebut merupakan ekstensi dari pipa jaringan yang sudah ada di Kepulauan Batam, juga untuk melakukan pengembangan pasar sampai ke potensi yang ada di Tanjung Uncang.
Hendi Prio Santoso mengatakan bahwa pembangunan infrastruktur ini sesuai aspirasi pelayanan pemerintah untuk melayani masyarakat yang nantinya paling bawah dulu, kemudian bisa dilakukan pengembangan selanjutnya, bisa berkolaborasi juga dengan industri kelistrikan maupun industri lainnya.
Melalui pembangunan infrastruktur ini, PGN memiliki komitmen untuk mendukung seluruh kegiatan, baik industri manufaktur maupun pelayanan terhadap seluruh masyarakat di Kepulauan Batam, dan di kabupaten Bogor. Selain itu, PGN juga mengungkapkan kesiapannya untuk mengoperasikan dan mengelola seluruh jaringan gas yang sudah dibangun pemerintah. Hal tersebut karena PGN melihat pembangunan infrastruktur ini merupakan titik awal untuk melakukan pelebaran infrastruktur yang diperlukan agar gas bumi produksi dalam negeri dapat termanfaatkan secara optimal di negara sendiri, sehingga tujuan kedaulatan energi dan kemandirian energi nanti akan bisa terlaksana.
Sementara itu, Menteri ESDM Sudirman Said memuji usaha yang dilakukan PGN untuk menjadikan gas bumi sebagai energi masa depan. Hal tersebut diungkapkan setelah dia menyaksikan langsung salah satu infrastruktur yang ada di Batam. Menurutnya, infrastruktur yang dibuat PGN merupakan salah satu fasilitas yang modern, bersih, dan world class.
Menteri Sudirman Said juga mengungkapkan bahwa kandungan gas bumi Indonesia cukup banyak. Artinya, dengan tingkat konsumsi dan produksi saat ini, cadangan gas Indonesia masih cukup hingga 50 tahun ke depan. Melihat kondisi tersebut, sebetulnya potensi untuk gas lebih baik daripada terus bergantung pada minyak. Hal ini tidak lepas karena cadangan minyak sudah semakin sedikit dan harganya mahal. Selain itu, secara konsumsi dan kebersihan, gas lebih bersih dan efisien, serta harganya lebih murah.
Meski Indonesia memiliki cadangan gas bumi hingga 50 tahun ke depan, nyatanya hal tersebut masih mengalami sedikit problema, salah satunya isu bahwa gas-gas indonesia lebih banyak yang diekspor daripada digunakan di dalam negeri. Menanggapi isu ini, Menteri  Sudirman Said menjelaskan alasan tersebut  dapat terjadi, yaitu karena yang mendevelop gas di masa lalu selalu orientasinya ke luar. Artinya, Indonesia belum punya satu visi yang besar bagaimana meningkatkan konsumsi gas dalam negeri.  Meski begitu, nyatanya hingga saat ini gas bumi PGN justru sudah banyak dinikmati oleh masyarakat dalam negeri, mulai dari perumahan, perhotelan, hingga kawasan industri,
Hal ini sesuai dengan apa yang diharapkan Menteri Sudirman Said bahwa yang perlu dilakukan saat ini adalah bahwa semua harus bergerak dan bekerja keras supaya gas dalam negeri sebagian besar diarahkan untuk konsumsi domestik, tentu dengan tetap melayani kebutuhan ekspor untuk keseimbangan, dan jawabannya adalah infrastruktur.


Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
Di bagian awal pidato sambutan Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Sudirman Said  saat meresmikan tiga proyek pipa gas milik PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) yang dilakukan bersamaan di Batam pada 30 Januari 2015 silam, mengungkapkan bahwa ekonomi Indonesia sedang bergerak dari yang semula mengandalkan sumber daya alam menuju ke kegiatan bernilai tambang. Maka dari itu, dirinya menegaskan bahwa yang diperlukan adalah push sector, termasuk energi.
Jika dulu banyak yang mempertayakan kenaikkan harga minyak di Indonesia, padahal saat itu harga minyak dunia sedang turun, Menteri ESDM ini mengungkapkan bahwa yang saat itu dikerjakan adalah reformasi struktural, di mana rakyat berhak atas dana negara, dan yang paling berhak adalah orang yang berada di level paling bawah. Sementara penikmat BBM justru kebanyakan dari kalangan atas, yakni orang yang memiliki akses atas pesawat terbang, atau minimal orang yang memiliki kendaraan mobil.
Menurutnya, ini merupakan suatu kebijakan yang tidak boleh berlangsung. Begitu subsidi digeser, maka terbuka ruang piskal paling tidak 120 triliun untuk tahun 2015. Bahkan, pemerintah terus menggenjot pembangunan infrastuktur.
Dalam sambutannya, Menteri Sudirman Said mengatakan bahwa pemerintah tidak boleh lagi mengambil posisi sebagai penguasa, sebab 80 persen ongkos bernegara ini dibiayai oleh rakyat. Pemerintah harus mengambil posisi sebagai pelayan rakyat, karena sejatinya pemerintah adalah pesuruh rakyat, di mana rakyat membayar iuran melalui pajak.
Sementara terkait pemanfaatan energi gas bumi, Menteri Sudirman Said mengatakan bahwa gas merupakan masa depan Indonesia paling dekat. Dirinya pun tidak ingin pemerintah mengulang kesalahan dalam mengurus soal minyak, di mana ketika itu cadangan minyak Indonesia masih besar dan masih eksportir, namun pemerintah lupa membangun infrastruktur sarana pengolahan, terus menyusut hingga tidak ada importir, infrastruktur belum siap tetapi sumbernya sudah turun. Hal ini membuat pemerintah kena dua kali, yakni sumber daya dan produk masih diimpor. Sementara untuk menyimpannya saja Indonesia belum memiliki sarana.
Pemerintah tidak ingin kekeliruan ini juga dialami oleh gas. Maka dari itu, Menteri Sudirman Said mengajak kepada Direktur Utama PGN Hendi Prio Santoso dan jajaran terkait untuk mengawal dan terus mendorong disertifikasi, seperti mempertimbangkan berapa persen penghematan dari BBM ke gas bumi, yang jika dilihat dalam kisaran untuk pembangkit saja sekitar 30 persen, dan itu merupakan sesuatu yang besar sekali.
Melalui peresmian tiga proyek ini pula, Menteri Sudriman Said ingin menularkan proses-proses ini ke tempat lain. Dirinya juga mengapresiasi pemerintah Batam yang telah memiliki sistem meregulasi listriknya, sehingga listrik hampir betul-betul mendekati harga sesungguhnya. Ini yang menurutnya mesti dilakukan, artinya subsidi jangan ditaruh di tempat-tempat yang tidak tepat, tetapi kepada rakyat yang lebih membutuhkan. Hal ini juga akan pemerintah dorong ke kota-kota lain yang penduduknya sudah relatif sejahtera dapat meniru apa yang sudah dikerjakan di Batam.
Berangkat dari hal itu pula, Menteri ESDM perlu berdialog dengan Kementerian PU, supaya komplek-komplek rumah yang baru, baik rumah biasa maupun rumah susun dari awal sudah disiapkan infrastruktur untuk sambungan gas. Jadi tidak perlu masyarakat gendong-gendong gas melon atau tabung gas, yang di samping berat, juga relatif lebih mahal.
  
Tulisan ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi