Kritik Agama dalam Novel "Layar Terkembang"

Leave a Comment


Berbicara mengenai Sutan Takdir Alisyahbana, penulis pernah  membaca di sebuah surat kabar (Republika), dimuat pernyataan salah seorang tokoh islam yang mengatakan bahwa pencarian kebenaran STA pada akhirnya sampai kepada islam. STA yang dikenal sebagai budayawan, filsuf, pendidik dan sastrawan menemukan kembali islam setelah melakukan pergulatan yang panjang. Lahir dari keluarga islam yang taat, kemudian jauh dari islam, lalu mencari agama untuk pegangannya, dan mengukuhkan islam sebagai agama yang paling logis dan paling benar.
            Pada novel Layar Terkembang, banyak para pengamat berpandangan bahwa Layar Terkembang merupakan babak baru novel Indonesia. Hal tersebut karena menurut para pengamat, bahwa Layar Terkembang sudah tidak lagi berbicara mengenai adat yang menjadi bahan sastra pada waktu itu, melainkan mengenai kedudukan wanita dalam masyarakat.
            Berkaca pada penjelasan di atas, banyak pengamat sastra menilai tokoh Tuti pada novel Layar Terkembang identik dengan pemikiran STA. Meskipun hal tersebut dibantah secara langsung dalam sebuah kabar (Suara Karya), STA sendiri mengatakan bahwa “mengidentifikasi Tuti dan Yusuf sebagai penjelmaan saya adalah kekeliruan besar”.
            Novel Layar Terkembang, melalui tokoh Tuti selain menampilkan masalah feminisme yang berjuang dalam gerakan “Puteri Sedar”, juga menyampaikan kritikannya terhadap kaum tua bahwa agama hanya untuk orang-orang yang sudah pensiun.
            “... Tiadakah senang Engkang sekarang sudah bekerja selama itu mendapat pensiun yang tetap, sehingga sesentosa-sentosanya dapat menyerahkan dirinya untuk mempelajari agama dan menurut suruhan agama?...” (h. 31)
            “Saya? Ah, bukankah tadi kata Tuan Parta bahwa agama itu pekerjaan orang yang telah pensiun? Saya pun menanti saya pensiun dahulu, baru akan sembahyang...” (h. 35)
            Dalam kutipan di atas terlihat sekali bahwa STA sangat mengkritik golongan kaum tua yang beranggapan bahwa urusan agama hanya untuk pekerjaan orang-orang yang telah pensiun. Agama hanya akan dikerjakan apabila sudah tidak ada lagi yang diharapkan dalam suatu kehidupan. Kritikan STA dalam hal agama juga terlihat dari pandangannya bahwa agama hanya akan dikerjakan jika seseorang sudah putus asa dalam menjalani hidup, barulah orang akan ingat kepada agama. Tetapi jika hidup selamanya senang-senang saja, lupa pula orang kepada agama.
            Selanjutnya juga perasaan takut akan mati yang lebih dekat kepada orang-orang yang sudah tua tak bisa dihindarkan. Maka orang-orang barulah akan menjalani syariat agama. Tidak peduli orang tersebut tahu atau tidak apa yang diucapkannya dalam beribadah, tetapi dalam perbuatan yang tidak diketahuinya itu orang-orang akan ingat agama untuk meredakan rasa takutnya akan kematian.
            Tidak hanya mengkritik kaum tua, kritikan STA mengenai agama juga ditunjukkan kaum priyayi dan pelajar.
            “bagi engkau, segala apa salahnya,” ujar Tuti. “Bagi saya mengerjakan sesuatu yang tiada berguna, terang salah. Apa yang saya kerjakan hendaknya termakan oleh akal saya. Saya tidak mengerti apa gunanya agama yang dipakai golongan terpelajar, golongan priyayi bangsa kita sekarang.” (h. 36)
            Dari kutipan di atas, terlihat bahwa kaum priyayi dan pelajar tak lepas terkena kritikan STA. Melalui tokoh Tuti, STA berusaha mengkritik pandangan masyarakat yang membedakan kedudukan golongan priyayi dengan orang kampung dalam hal agama. Melalui tokoh Tuti pula, STA mengkritik agama yang dipakai orang kampung. Hal tersebut tidak lepas dari pendangan STA yang menganggap kehormatan orang kampung merupakan kehormatan yang membabi buta, sehingga mereka sendiri tidak dapat dan tidak sanggup mendalami hakikat agama sebenarnya. Akibatnya segala urusan agama mereka serahkan kepada kiai yang mereka junjung.
            Selanjutnya kritikan STA terhadap golongan priyayi adalah bahwa STA memiliki pandangan bagi mereka agama serta upacara yang dianggap bersangkutan dengan agama tersebut, seolah-seolah dipandang sesuatu yang memalukan, yang tidak berani dibawa di tengah khalayak yang terhormat. Tetapi untuk melepaskannya sama sekali mereka tidak berani pula, sebab pada waktu kematian atau pada waktu manusia perlu perhubungan akan kekuasaan gaib yang mengatasi kekuasaannya, mereka sendiri tidak memiliki kemampuan. Sehingga mereka memiliki keragu-raguan, yaitu jika kepercayaan akan kekuasaan gaib dipakai mereka malu, namun jika dibuang mereka juga tidak memiliki keberanian. Akibatnya bagi mereka agama hanya mendapat kedudukan di belakang. Sedangkan kritikannya terhadap pelajar adalah bahwa STA memiliki pandangan terhadap kaum pelajar yang memiliki keyakinan bahwa mereka akan memegang agama jika agama tersebut sesuai dengan akal mereka.

            Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah kita simpulkan bahwa STA berusaha mengkritik kedudukan agama terhadap golongan tua, priyayi, serta pelajar. STA mengkritik pandangan mereka yang mengatakan bahwa agama hanya untuk mereka yang sudah tua, agama merupakan sesuatu yang tidak perlu dipercayai, serta agama adalah apa yang dapat diterima oleh akal dan pikiran yang merupakan orang terpelajar. (Fahrudin Mualim)
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar