Aktivitas saya bermain blog memang masih tergolong baru. Maka tidak heran ketika ada peringatan Hari Blogger Nasional, saya baru tahu. Padahal itu sudah ada sejak 2007, yakni ketika Muhammad Nuh, yang kala itu menjabat sebagai Menteri Komunikasi dan Informasi menetapkan bahwa 27 Oktober sebagai Hari Blogger Nasional. Sebagai seorang blogger yang bisa dibilang masih “anak bawang”, tentu momen ini tidak saya lewatkan untuk sekadar berbagi pengalaman seputar dunia blogging.

Harus saya akui bahwa urusan membaca, saya tidak rajin-rajin amat, apalagi menulis. Bisa dibilang kehidupan saya sejak SMP hingga SMA tergolong standar-standar saja, sekolah, organisasi, atau sekadar nongkrong. Membaca atau menulis catatan pribadi di blog tidak ada dalam kamus saya saat itu. Namun, sejak memasuki dunia perkuliahan, membaca menjadi hal yang wajib saya lakukan. Apalagi, mengingat saya kuliah di jurusan yang berkaitan dengan dunia bahasa dan sastra, meskipun ada embel-embel pendidikan.

Tiap minggu saya dicekoki berbagai bacaan, terutama buku-buku sastra. Itu semua ditambah dengan membuat esai atau rangkuman dari hasil bacaan yang dilakukan. Alhasil,  secara tidak langsung saya juga mulai menggeluti dunia menulis: menulis tugas. Inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal saya menggeluti dunia blogging.

Pertama kali membuat blog, awalnya hanya sekadar untuk menyimpan tulisan-tulisan hasil tugas kuliah sambil mulai latihan menulis, tentu tulisan-tulisan idealis saya. Namun, siapa sangka blog yang awalnya hanya sekadar iseng, kini nampaknya mulai serius saya geluti. Apalagi, kini blog saya bisa menghasilkan pundi-pundi uang. Ya, walaupun tidak seberapa, tetapi ini justru semakin menarik minat saya untuk terus ngeblog. Maka tidak heran kalau blog saya (juga) diisi oleh tulisan-tulisan “pesanan”. Uang memang memberikan pengaruh yang luar biasa (hehe).

Mengutip ucapan Imam Al-Ghazali, “kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besa, maka jadilah penulis”, saya ingin mengucapkan Selamat Hari Blogger Nasional bagi teman-teman yang merayakannya.
Selamat menulis!



Cikini, menjelang malam 27 Oktober 2016
Abdul Chaer (2009: 37) mengungkapkan, secara hierarkial dibedakan adanya lima macam satuan sintaksis, yaitu kata, frase, klausa, kalimat, dan wacana.  Lebih lanjut, Chaer (2009: 37) menjelaskan bahwa yang dimaksud secara hierarkial adalah kata, di mana merupakan satuan terkecil yang membentuk frase. Lalu, frase membentuk klausa; klausa membentuk kalimat; kalimat membentuk wacana, sehingga dapat dikatakan bahwa kata merupakan satuan yang paling kecil, sedangkan wacana merupakan satuan terbesar. Hal tersebut berbeda dengan paham tata bahasa tradisional yang mengatakan bahwa kalimat dalam kajian sintaksis.


1.      Kata

Kata adalah satuan bentuk terkecil (dari kalimat) yang dapat berdiri sendiri dan mempunyai makna (Lamuddin Finoza, 2010: 80). Pendapat lain mengatakan bahwa kata dapat dimaknai sebagai unsur bahasa yang diucapkan atau dituliskan yang merupakan perwujudan kesatuan perasaan dan pikiran yang dapat dipergunakan dalam berbahasa (Zaenal Arifin, 2012: 81). Sementara menurut Mulyana, pada kenyataannya suatu kalimat mungkin saja hanya terdiri atas satu kata (Mulyana, 2005: 7), sehingga dapat dikatakan bahwa meskipun jika dilihat dalam sebuah struktur yang lebih besar, kata merupakan bagian dari kalimat.

Jika dilihat dari segi bentuknya, kata dapat dibedakan atas dua macam, yaitu kata yang bermorfem tunggal atau disebut juga kata dasar atau kata yang tidak berimbuhan, dan kata yang bermorfem banyak atau kata berimbuhan (Lamuddin Finoza, 2010: 81). Secara lebih jauh, Lamuddin (2010:82) membagi sepuluh jenis kata secara tradisional di dalam bahasa-bahasa yang besar di dunia, termasuk bahasa Indonesia, yaitu kata benda (nomina), kata kerja (verba), kata sifat (adjektiva), kata ganti (pronomina), kata keterangan (adverbia), kata bilangan (numeralia), kata sambung (konjungsi), kata sandang (artikula), kata seru (interjeksi), kata depan (preposisi).

2.      Frase

Frase adalah sekelompok kata yang tidak mempunyai unsur subjek predikat (Lamuddin Finoza, 2010: 100). Sementara Abdul Chaer (2009:39) mengatakan, frase dibentuk dari dua buah kata atau lebih; dan mengisi salah satu fungsi sintaksis. Dapat dikatakan bahwa susunan yang berupa kelompok kata menunjukkan frase lebih tinggi dari kata. Akan tetapi, Lamuddin (2010:100) memberikan batasan dan susunan tersebut, berarti membentuk frase bukanlah meyandingkan kata-kata seperti membuat kalimat pada umumnya, melainkan harus nonpredikatif dan menghasilkan makna yang lebih luas dari kata.

Frase yang juga sebagai pengisi fungsi-fungsi sintaksis mempunyai kategori. Maka kita mengenal adanya frase nominal, frase verbal, frase ajektifal, dan frase preposisional. Sementara jika kita lihat dari hubungan kedua unsur-unsurnya dikenal adanya frase koordinatif dan frase subordinatif. Selain itu, jika kita lihat dari keutuhannya sebagai frase dikenal adanya frase eksosentrik dn frase endosentrik.

3.      Klausa

Klausa merupakan satuan sintaksis yang berada di atas satuan frase dan di bawah satuan kalimat, berupa runtunan kata-kata berkonstruksi predikatif (Abdul Chaer, 2009:40). Maksud dari pernyataan tersebut adalah bahwa di dalam konstruksi klausa ada komponen berupa kata atau frase yang berfungsi sebagai predikat. Hal tersebut rupanya sejalan dengan batasan klausa dari Lamuddin (2010:117) bahwa klausa adalah sekelompok kata yang mengandung subjek dan predikat, sehingga di sini berarti meskipun kalimat tunggal, pasti mempunyai klausa karena kalimat tunggal adalah kalimat yang terdiri dari satu subjek dan satu predikat.

Sementara Abdul Chaer berpendapat, klausa dapat dibedakan berdasarkan kategori dan tipe kategori yang menjadi predikatnya, yaitu sebagai klausa nominal, klausa verbal, klausa ajektifal, klausa preposisional, dan klausa numeral.

4.      Kalimat

Kalimat secara umum dipahami sebagai kesatuan ujar yang mengungkapkan suatu konsep pikiran (Zaenal Arifin, 2012:83). Lebih lanjut, berdasarkan aspek semantisnya, Gie dan Widyamartaya (Mulyana, 2005:8) mengatakan bahwa kalimat memiliki makna sebagai serangkaian kata yang menyatakan pikiran gagasan yang lengkap dan logis. Bahkan, Foker (Mulyana, 2005:8) menyatakan bahwa kalimat adalah ucapan bahasa yang memiliki arti penuh dan batas keseluruhannya ditentukan oleh intonasi (sempurna). Sementara itu, Abdul Chaer (2009:44) memberikan pendapat bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan disertai dengan intonasi final.

Lebih lanjut Abdul Chaer (2009:45) membagi jenis kalimat menjadi beberapa macam.
a.  Berdasarkan kategori klausanya dibedakan menjadi kalimat verbal, kalimat adjektifal, kalimat nominal, kalimat preposisional, kalimat numeral, dan kalimat adverbial.
b. Berdasarkan jumlah klausanya dibedakan menjadi kalimat sederhana, kalimat bersisipan, kalimat majemuk rapatan, kalimat majemuk setara, kalimat majemuk bertingkat, dan kalimat majemuk kompleks.
c.  Berdasarkan modusnya dibedakan menjadi kalimat berita (deklaratif), kalimat tanya (interogatif), kalimat perintah (imperatif), kalimat seruan (interjektif), kalimat harapan (optatif).

5.      Wacana

Menjadi satuan tertinggi dalam hierarki sintaksis, wacana mempunyai pengertian yang lengkap atau utuh, dibangun oleh kalimat atau kalimat-kalimat (Abdul Chaer, 2009:46). Maksud dari pengertian yang diungkapkan Abdul Chaer di sini adalah bahwa sebuah wacana mungkin hanya terdiri dari sebuah kalimat, akan tetapi mungkin juga terdiri dari beberapa kalimat.



Referensi
Arifin, Zaenal, dkk. Teori dan Kajian Wacana Bahasa Indonesia. Tangerang: Pustaka Mandiri. 2012.
Chaer, Abdul. Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. 2009.
Finoza, Lamuddin. Komposisi Bahasa Indonesia. Jakarta: Diksi Insan Mulia. 2010.
Mulyana. Kajian Wacana: Teori, Metode, dan Aplikasi Prinsip-prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana. 2005.


Hujan yang turun di akhir pekan ini membuat suasana kian syahdu. Saya sendiri tidak tahu kapan tepatnya hujan mulai turun, karena saya baru bangun tidur pas ketika adzan zuhur berkumandang di musola yang jaraknya hanya beberapa rumah dari rumah saya. Hujan dan udara dingin membuat daya magnet kasur menjadi semakin kuat. Saya sempatkan membuka handphone dan melihat beranda di media sosial. Hampir semua sama, membicarakan hujan. Hujan akhir pekan.

Setelah berhasil memaksa tubuh keluar dari kenyamanan kasur, mencuci muka dan sholat zuhur, saya coba menyalakan tv sambil makan siang. Ah, akhir pekan yang begitu cihuy. Selesai makan, selesai pula aktivitas menonton tv. Memang tujuan saya menyalakan tv hanya sekadar melihat update berita terbaru seputar sepakbola. Selebihnya bagi saya kurang menarik.

Sebelum kembali ke kamar, saya sempatkan diri melihat ke beranda rumah. Hujan sudah tidak terlalu deras, namun rinainya mengindikasikan kalau dia masih ingin berlama-lama. Sementara musola di dekat rumah kembali bersuara. Kali ini suara ibu-ibu pengajian yang sedang bersholawat sambil sesekali memanggil rekan-rekannya yang belum hadir. Saya taksir, beberapa ibu yang lain (juga) mager untuk sekadar keluar rumah.

Sekarang sudah pukul 13:46, sebelum saya melanjutkan novel yang sedang saya baca, saya sempatkan terlebih dahulu menyalakan laptop dan mulai  mengetik. Menulis tentang ini. Tentang hujan.
Selamat akhir pekan, hujan!




Bekasi, 23 oktober 2016
Menulis satu artikel dengan tema yang tidak disuka menambah tingkat kesulitan dalam menulis. Apa boleh buat, namanya juga pekerjaan. Mau tidak mau, suka tidak suka ya harus diselesaikan. Karena ketidaktertarikan ini pula, sekadar membuat konklusi yang hanya 3 baris saja, saya butuh waktu hingga 40 menit.
Sekarang sudah pukul 17:29. Artinya masih ada sekitar 30 menit lagi jam pulang. Sambil menunggu jam pulang, saya memilih searching lagu di youtube. Saya ketik kata “Coldplay”, dan yang muncul paling atas adalah lagu-lagu terbaik Coldplay (The Best of Coldplay). Ada 19 track di laman tersebut, beberapa saya tahu lagunya, tapi lebih banyak yang tidak tahu. Akhir-akhir ini saya memang sedang suka dengerin suara merdunya Cris Martin (vokalis Coldplay) dan ditambah sempat membaca blog teman yang membahas tentang Coldplay. Menurut saya, Coldplay tidak hanya berhasil menciptakan tune-tune yang bikin sejuk, tapi juga berhasil membuat lirik lagu yang dalem banget. Ini terbukti setelah saya mencari makna lagu-lagunya di google.
Oh iya, berbicara tentang blog, saya mau kasih tahu kalau ini akan menjadi tulisan pertama saya setelah laman blog saya beralih menjadi .com setelah sebelumnya memakai jasa blog gratisan. Lamannya pun berubah dari yang sebelumnya fahrudinmualim.blogspot.co.id menjadi kelaskata.com. Alasan saya menggunakan kelaskata sebagai alamat blog bisa dilihat bagian About us.
Sejak beralih menjadi .com saya mulai mengatur kembali tata letak supaya terlihat lebih eye chacing. Sayangnya, saya yang tidak memiliki bakat di bidang bahasa pemrograman dan punya nilai artistik yang rendah malah bikin tampilan blog saya jadi berantakan. Merasa frustasi, akhirnya saya minta bantuan Mba Ranny, seorang blogger yang saya kenal dari teman saya yang lain. Setelah diolah sama Mba Ranny ini, tampilan blog saya pun sedikit menjadi lebih baik dari sebelumnya, terlihat lebih rapi. Terimakasih Mba Ranny, yang sampai saat ini berkabar hanya dengan WhatsApp.
Sekarang pukul 17:58. Lagu yang saya dengarkan saat ini Trouble. Saya suka lagu ini, lagu adem khas Coldplay. Saya jadi teringat, pertama kali tahu ini adalah ketika saya meminta lagu dari laptop teman kosan. Awalnya, saya hanya asal saja mengkopi, tapi setelah saya dengarkan satu persatu, ternyata enak juga.
Sudah pukul 18:03, artinya saya sudah harus bergegas merapikan meja kerja, sholat, lalu pulang. Besok ada liputan.
Sambil menutup laman-laman browsing, saya sudahi pula tulisan hari ini. Sampai ketemu lagi




Gondangdia, pertengahan Oktober 2016.

Sistem informasi desa yang tersambung secara online akan sangat membantu, terutama dalam membuka keterisolasisan desa, misalnya karena keterbatasan infrastruktur, desa kesulitan membuat laporan dana desa. Maka sistem informasi yang online akan memudahkan. Begitulah kiranya menurut Menteri Desa, Pembangunan, Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (Mendes PDTT), Eko Putro Sandjojo saat membuka Festival Desa Teknologi Informasi dan Komunikasi (Destika) 2016.

Tak dapat dipungkiri, banyak pedesaan di Indonesia yang masih tertinggal. Padahal, daerah-daerah tersebut memiliki potensi yang besar, salah satunya adalah Papua. Melalui Festival Destika yang keempat inilah diharapkan akan semakin banyak masyarakat pedesaan yang semakin melek teknologi khususnya internet yang memiliki banyak manfaat. Hal ini tentu sejalan dengan komitmen pemerintah Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam semangat nawacita, salah satunya adalah membangun Indonesia dari pinggiran dan desa-desa.

Komitmen pemerintah dalam membangun desa dan daerah tertinggal pun dibuktikan salah satunya dengan penyaluran dana desa yang dari tahun ke tahun penyaluran terus meningkat. Sayangnya, selama ini penyaluran dana desa masih terkendala keterbatasan infrastruktur desa dan kapasitas masyarakat. Maka dari itu, melalui sistem informasi online, setidaknya masalah penyaluran ini sedikit bisa teratasi. Selain itu, dengan memanfaatkan teknologi informasi ini juga akan membuat pengelolaan dana desa akan lebih transparan dan akuntabel serta partisipatif.

Melalui Festival Destika ini beragam workshop dan seminar pun digelar, mulai dari pembahasan terkait mengembangkan teknologi pemetaan digital dengan drone, membuat mekanisme pembelajaran digital (e-learning), hingga sistem administrasi pemerintahan berbasis teknologi (e-govermance). Pemerintah pun meyakini bahwa program desa melek teknologi ini akan berhasil dan berkelanjutan. Apalagi dalam pengawasannya nanti akan melibatkan relawan-relawan TI yang siap membimbing warga desa.

Meski sejatinya pemanfaatan teknologi informasi bagi masyarakat desa bukan sesuatu hal yang baru, sebab sudah banyak desa-desa di Indonesia yang menerapkan sistem online. Namun setidaknya, melalui festival Destika ini diharapkan desa-desa di Papua tidak lagi terisolasi dengan sistem online.



Sumber:
Saat ini banyak daerah-daerah di Indonesia gencar menerapkan program Smart City, yakni konsep kota cerdas yang dirancang guna membantu berbagai kegiatan masyarakat, terutama dalam mengelola sumber daya yang ada dengan efisien. Konsep ini juga memberikan kemudahan mengakses informasi kepada masyarakat, hingga untuk mengantisipasi kejadian yang tidak terduga sebelumnya. Tentu saja, konsep ini berkaitan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang semakin pesat. Adapun salah satu produk yang dihasilkan dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi salah satunya adalah adanya internet.

Era digital seperti sekarang ini membuat keberadaan internet memiliki peran yang sangat penting. Bahkan, sebuah anekdot pun mengatakan “lebih baik sehari tidak makan daripada sehari tidak punya kuota internet”. Hal ini karena sebagian besar aktivitas yang dilakukan tidak lepas dari internet, mulai dari belanja, pesan makanan, bahkan naik ojek pun bisa dilakukan melalui internet. Singkatnya, kehadiran internet secara tidak langsung berhasil mempermudah aktivitas manusia.

Kembali pada konsep smart city. Saat ini, konsep  kota cerdas menjadi impian banyak kota besar di Indonesia. Hal ini karena konsep smart city dianggap sebagai solusi dalam mengatasi berbagai permasalahan yang terjadi di daerah-daerah. Perjalanan menuju konsep smart city di Indonesia pun sudah berjalan perlahan. Dukungan aplikasi yang terus berkembang serta terciptanya ekosistem kreatif di bidang teknologi informasi menjadi langkah awal menuju kota pintar. Setidaknya, hal tersebut dapat dilihat di kota semacam Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Yogyakarta.

Kini, sejenak kita pinggirkan kota-kota besar yang sudah menerapkan konsep smart city. lalu menengok ke ujung timur Indonesia, yakni Papua. Akhri September lalu, Papua baru saja berhasil menggelar Festival DesaTeknologi Informasi dan Komunikasi (Destika). Festival yang digelar di Danau Sentani, Kalkote, Jayapura, Papua, ini tentu diharapkan dapat mendorong tumbuhnya kesadaran masyarakat dan perangkat desa untuk memaksimalkan pemanfaatan teknologi bagi pembangunan lintas sektor, mulai dalam hal ekonomi, kesehatan, pendidikan, hingga manajemen pemerintah daerah.

Adanya Festival Destika ini menunjukkan bahwa perkembangan konsep smart city di Indonesia perlahan tapi pasti mulai merata. Terbukti, dengan digelarnya Festival Destika di Papua ini akan terbangun sinergi antar desa berbasis teknologi informasi. Salah satu contohnya akan terbangun perniagaan, seperti penjualan produksi-produksi desa ke kota lewat sarana ekonomi digital. Begitu pun sebaliknya, produksi kota bisa dikonsumsi desa dengan harga yang disepakati dan diketahui bersama.

Festival Destika yang sudah berlangsung ini juga melahirkan berbagai gagasan guna memberikan layanan yang berkualitas, mulai dari kesehatan, yakni akan ada kerjasama teknologi dengan pemangku kepentingan eksternal. Kemudian dalam bidang pendidikan akan bekerjasama dengan kampus  dan lembaga pendidikan lain untuk membuat e-learning. Sementara untuk manajemen pemerintah daerah, pemanfaatan teknologi informasi ini tentu diharapkan dapat membuat pengelolaan dana desa menjadi lebih optimal. Selain itu, melalui teknologi pula pengelolaan dana menjadi lebih transparan dan akuntabel serta partisipatif. Kita juga berharap semoga pemanfaatan teknologi informasi ini diterapkan desa-desa lain.


Sumber:
http://www.plimbi.com/news/158601/smart-city-konsep-kota-cerdas