Mengenang Pram

1 comment


Di Senin pagi yang tak menentu antara akan turun hujan atau panas, saya dikejutkan dengan Google. Ya, buat kamu yang hari ini sudah membuka Google Doodle, pasti melihat seorang lelaki berkaca mata sedang mengetik dengan latar belakang bulatan-bulatan papan ketik yang merangkai kata “Google”. bagi penikmat sastra, sosok tersebut mungkin tidak asing. Namun, buat kamu yang belum tahu pria berkacamata yang hari ini menjadi penyerta logo mesin pencari dunia maya tersebut, dia adalah sastrawan kenamaan Indonesia, Pramoedya Ananta Toer.

Munculnya sosok Pram, sapaan akrabnya, di mesin pencari dunia maya hari ini adalah untuk memperingati ulang tahunnya yang ke-92. Pram lahir pada 6 Februari 1925 di Blora, Jawa Tengah. Dia adalah salah satu sastrawan yang memberikan sumbangsih besar bukan hanya bagi kesusastraan Indonesia, tetapi juga dunia. Tengok saja karya-karya Pram yang sudah banyak diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa, belum lagi yang meneliti karya-karya tersebut. Salah satu karya yang paling terkenal adalah Tetralogi Pulau Buru.

Tetralogi Pulau Buru merupakan novel berseri yang terdiri dari empat judul, yakni Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Pram menulis Tetralogi Pulau Buru ini semasa dia ditahan dan diasingkan di Pulau Buru, Maluku. Pram ditangkap sejak 1969 dengan satu alasan yang tidak pernah terbukti, dia dituduh terlibat PKI. Bahkan, keempat buku ini sempat dilarang pada pemerintah Orba (Orde Baru) sejak Mei 1998 karena dituding mengandung gagasan pertentangan kelas.

Itulah gambaran singkat Pram yang saya ketahui setelah membaca karya-karyanya serta hasil dari diskusi di kelas dan emperan kampus saat masih kuliah. Pram memberikan pengaruh cukup besar kepada diri saya untuk mau menulis, menulis, dan menulis. Lewat tokoh Minke, dia juga menuntun saya untuk terus meraih cita-cita sebagai seorang jurnalis.

Kata-katanya, seperti “orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”, atau “kalian boleh maju dalam pelajaran, mungkin mencapai deretan gelar kesarjanaan apa saja, tapi tanpa mencintai sastra, kalian tinggal hanya hewan yang pandai”, maupun “seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran apalagi dalam perbuatan”, menjadi mantra bagi saya. Inilah mengapa, di hari ulang tahunnya saya ingin mengenang awal “pertemuan” saya dengan dia.

Awal perkenalan dengan Pram adalah ketika saya memasuki dunia perkuliahan. Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia yang saya pilih menuntut saya untuk mempelajari sastra. Hasilnya, semester awal kuliah di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, saya sudah dicekoki teori-teori sastra, mulai dari Rene Wellek dan Austin Warren atau A. Teeuw. Tidak ketinggalan, saya juga “dipaksa” untuk membaca karya-karya sastra lama, salah satunya adalah Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya. 

Belum cukup hanya dengan membaca, saya juga dituntut untuk mengenal latar belakang Pram dan menganalisis karya-karya. Di sinilah saya mulai mengenal sosok Pram dan mencoba menyelaminya lebih dalam. Kemudian, saat mata kuliah kajian prosa, saya kebagian menganalisis novel Bumi Manusia. Ini adalah pertemuan “formal” saya dengan Pram di bangku kuliah.

Awal pertama kali mengetahui bahwa saya kebagian menganalisis Bumi Manusia tidak bersemangat. Alasannya, novel ini tergolong panjang, sekitar 500 halaman. Latar belakang sejarah dalam novel tersebut yang sangat kuat membuat novel ini semakin berat untuk dianalisis bagi saya yang kala itu tergolong mahasiswa dengan tingkat kemampuan pas-pasan. Namun, setelah menyelesaikan tugas membuat makalah dan mempresentasikannya di kelas, saya justru semakin tertarik dan penasaran dengan  pemikiran-pemikiran Pram. Sejak saat itu pula, saya mengagumi gagasan-gagasan Pram. Saya suka cara Pram memperjuangkan kebebasan manusia dari ketertindasan penjajahan serta menentang sistem feodalisme bangsanya sendiri. Dialah orang jawa yang melepaskan kejawaannya.

Sejak berkenalan dengan Pram itulah, saya melihat Pram memiliki kharisma yang kuat sebagai seorang pengarang. Maka ketika A Teeuw mengatakan bahwa Pram adalah penulis yang muncul hanya sekali dalam tiap satu generasi atau satu abad, saya tidak bisa menampiknya. Wawasan sejarah Pram yang luas dalam setiap tulisan-tulisannya membuat dirinya layak mendapat predikat seperti itu.
Kini, mengenang kelahirannya, Pram yang pada April 2006 lalu menghembuskan nafas terakhirnya akan tetap abadi dalam setiap karya-karyanya. Meski zaman berubah, tetapi tulisan, pemikiran, serta gagasan-gagasannya tetap relevan hingga kini. Selamt ulang tahun, Pram!




Cikini, selepas magrib, 6 Februari 2017
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

1 komentar: