Pada bagian awal novel Belenggu, ada beberapa sambutan yang dilontarkan oleh para sastrawan. Salah satu sastrawan yang memberikan komentarnya terhadap novel Belenggu ini adalah Sutan Takdir Alisyahbana. Ia mengatakan bahwa pada hakekatnya Armijn ialah seorang romantikus, yang suka mengembara dalam jiwanya, melompat, dengan tiada mempedulikan logika dan kausalitet kejadian. Selanjutnya STA juga mengungkapkan yang menarik dalam novel Belenggu ialah permainan perasaan pengarangnya, yang memberikan kepada buku ini suatu suasana romantika yang gelap gulita serta pesimistis oleh karena watas-watasnya sudah ditetapkan oleh berbagai-bagai belenggu yang dimana-mana hendak dikemukakan pengarangnya. Hal ini menarik untuk sama-sama kita ketahui. Bentuk romantika kegelapan seperti apa yang coba diungkapkan Armijn Pane pada tokoh Tono, Tini, dan Rohayah yang membuat mereka terbelenggu.
            Banyak yang mengatakan bahwa Belenggu adalah novel psikologi pertama di Indonesia. Hal ini tidak lepas dari kemampuan Armijn Pane menghadirkan konflik-konflik psikologi dari tiap tokohnya. Selain itu, mengenai novel Belenggu ini, terdapat dua pandangan yang berbeda antara yang setuju dan yang tidak setuju. Kalangan yang tidak setuju dengan Belenggu ini menganggap bahwa novel ini porno karena memasukkan tokoh pelacur dan tema perselingkuhan. Sedangkan, bagi kalangan yang setuju dengan novel Belenggu ini karena menurut mereka Armijn Pane berhasil mengungkap kebobrokan-kebobrokan yang terjadi, terutama di kalangan pelajar atau orang yang memiliki pendidikan tinggi.
            Romantika kegelapan yang terdapat pada tokoh Dokter Sukartono (Tono) yang pertama adalah dari profesinya sebagai seorang dokter. Padahal ia sendiri kurang menyukai profesi sebagai dokter. Sebab, sebenarnya ia lebih tertarik kepada dunia seni. Selanjutnya Tono juga terjebak oleh pernikahannya dengan Sukartini (Tini). Sebenarnya Tono lebih menginginkan istri tradisional yang bersedia menyiapkan makan dan menunggunya di rumah. Namun, hal tersebut nampaknya tidak ada pada diri Tini. Ia merupakan wanita modern yang aktif dengan kegiatan sosial, sehingga ia tidak pernah mengurusi rumah tangga.
            Romantika kegelapan yang dialami tokoh Tono juga terlihat dari perselingkuhannya dengan Rohayah (Yah), yang tidak lain adalah seorang pelacur. Ketiga hal inilah yang dimaksudkan sebagai romantika kegelapan yang dialami tokoh Tono dan membuat ia semakin terbelenggu dengan pofesinya sebagai seorang dokter, pernikahannya dengan Tini, serta perselingkuhannya dengan Yah.
            Pada tokoh Tini, romantika kegelapan yang digambarkan Armijn Pane dilihat dari masa lalu Tini dengan Hartono, yang merupakan pacarnya waktu sama-sama masih sekolah. Mereka berdua juga aktif dalam berorganisasi. Hingga akhirnya Tini dan Hartono terjebak dalam pergaulan seks bebas yang menyebabkan Tini sudah tidak perawan lagi. Inilah bentuk kebobrokan yang diungkapkan Armijn Pane kepada kaum inteletual, bahwa meskipun mereka memiliki pendidikan tinggi dan aktif dalam berorganisasi, tetapi justru mereka melakukan hal-hal yang tidak senonoh, seperti melakukan seks bebas.
            Selanjutnya romantika kegelapan yang ada pada tokoh Tini dapat dilihat dari pernikahannya dengan Tono. Pekerjaan Tono sebagai seorang dokter menyebabkan ia terlalu sibuk merawat pasien, sehingga ia tidak punya waktu untuk bersama Tini. Selain itu, pandangan patriaki tokoh Tini yang tidak terima bahwa seorang istri hanya diam di rumah, menunggu suami pulang dan menyiapkan makanan. Ketiga romantika kegelapan inilah yang membuat tokoh Tini terbelenggu, yaitu terbelenggu oleh masa lalunya yang sudah tidak perawan lagi karena melakukan seks bebas, terbelenggu oleh pernikahannya dengan Tono, serta terbelenggu oleh pandangan patriakinya sendiri.
            Begitupun pada tokoh Rohayah (Yah). Armijn Pane menggambarkan romantika kegelapan pada tokoh Yah dari kehidupannya sebagai seorang pelacur. Selain itu, dapat dilihat dari perilakunya yang selingkuh dengan Tono dengan berpura-pura menyamar sabagai Nyonya Eni. Sebenarnya Yah sudah menikah dengan laki-laki lain dan pindah ke Palembang. Namun, karena ia terbelenggu oleh kisah cintanya dengan Tono sejak masih mereka sekolah bersama. Akhirnya Yah memutuskan untuk kabur dari suaminya dan pergi menemui Tono setelah ia mengetahui keberadaan Tono ketika ia sedang mendengarkan radio. Inilah romantika kegelapan yang digambarkan dalam diri seorang Yah,  yang bestatus sebagai seseorang yang tidak perawan lagi dan terjebak oleh kisah cintanya, sehingga ia memutuskan untuk menjadi seorang pelacur.
            Tidak berhenti sampai pada penggambaran masing-masing tokoh. Kritikan Armijn Pane juga terlihat waktu Tini mengetahui Tono selingkuh dengan Yah. Ketika Tini hendak memarahi Yah, dan menghina bahwa Yah adalah seorang pelacur, Yah balik melawan dengan membongkar masa lalu Tini yang sama buruknya dengan ia, yaitu pernah melakukan seks bebas, sehingga secara tidak langsung Armijn Pane menganggap bahwa mereka yang berpendidikan tinggi, namun melakukan seks bebas tidak ada bedanya dengan pelacur.
            Ingat lagi nyonya, beberapa tahun yang lalu, nyonya masih sekolah, ingat lagi sopir yang membawa nyonya dan tuan studen Technische Hooge School?”
“Nyonya, manakah beda kita? Janganlah memaki-maki.” (h. 132)

            Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa romantika kegelapan yang dimaksud Armijn Pane dalam novel Belenggu adalah ia berhasil membongkar kebobrokan yang terjadi pada mereka yang mengaku berpendidikan tinggi, namun melakukan perilaku seks bebas yang mengakibatkan mereka terbelenggu pada kehidupannya sendiri. (Fahrudin Mualim).
Pada novel Jalan Tak Ada Ujung terdapat tiga tokoh utama, yaitu Guru Isa, Hazil, dan Fatimah. Terlalu banyak konflik yang memunculkan tokoh Guru Isa dan Hazil membuat orang terpaku pada kedua tokoh tersebut. Hal ini membuat terlalu banyak orang lebih melihat psikologi yang terdapat pada tokoh Guru Isa maupun Hazil. Akibatnya, tokoh Fatimah menjadi terlupakan. Padahal, sosok Fatimah merupakan tokoh yang sangat penting terhadap jalannya cerita yang ada pada novel ini.
            Pada awalnya Fatimah adalah seorang istri yang baik, setia serta sabar. Ia mau melayani suaminya, yaitu Guru Isa walaupun sebenarnya ia berusaha melawan pergolakan batin yang menderanya. Pergolakan batin yang hadir dari penyakit suaminya yang impoten. Sebagai seorang wanita, terlebih sebagai seorang istri, pasti Fatimah menginginkan kebahagian bukan hanya lahir namun juga batin. Inilah salah satu pergolakan batin yang selama ini ia tahan sebagai seorang wanita.
            Sebagai seorang istri dari keluarga yang serba kurang secara ekonomi, Fatimah berusaha sekuat tenaga hutang di sana-sini hanya untuk keluarganya tetap bisa makan. Sedangkan yang mendapat malu atau kena marah setiap kali ia hutang adalah ia sendiri bukan Guru Isa yang merupakan seorang kepala keluarga.
            “kalau hari ini engkau tidak dapat uang, aku tidak tahu  lagi kemana harus menghutang beras.” (h. 65)
            Seperti dikatakan sebelumnya, bahwa ada hal yang menjadi pergolakan batin Fatimah, yaitu dapat kita lihat dari tokoh Guru Isa yang mengalami penyakit impoten. Sebagai seorang istri, tentunya ia sangat mendambakan belaian seorang suami. Namun, pada kenyataannya ia tidak mendapatkan itu dari Guru Isa. Sebuah perasaan yang campur aduk dialami Fatimah antara sedih, kesal, marah, atau bahkan malu.
            “Dalam tempat tidurnya Fatimah tidak dapat tertidur kembali. Kejadian di kamar sebelah mengingatkan kembali setelah ketika perkelahian mereka, beberapa hari seteelah malam celaka, enam bulan setelah mereka kawin. Dan kemudian percobaan-percobaan yang mereka atau Guru Isa yang tidak kunjung-kunjung berhasil. Perasaan-perasaan yang timbul dalam hatinya –kecewa, kesal, marah, sedih dan malu. Malu pada dirinya sendiri dan malu pada suaminya sendiri.” (h. 61)
            Sebagai seorang perempuan, terlebih wanita yang memiliki pendidikan,  Fatimah lebih bisa menahan diri dibandingkan dengan laki-laki.  Hal itu dapat kita lihat ketika ia mendapatkan suami yang memiliki penyakit impoten. Ia tetap setia melayani suaminya. Sebab, bisa saja ia mencari kepuasan dengan laki-laki lain, namun ia tidak mau bahkan merasa jijik jika tubuhnya dipegang oleh lelaki yang tidak dikawininya.
            “... soal agama tidak merupakan faktor dalam pikiran yang menahan Fatimah mencari kepuasan di luar rumahnya, karena dia sendiri tidak sembahyang. Seperti Guru Isa juga. Tetapi sesuatu dalam perbuatan bersetubuh demikian di luar suaminya menimbulkan rasa jijik dalam diri Fatimah. Dia jijik mengingat dirinya dipegang oleh laki-laki yang tidak dikawininya.” (h. 62)
            Selanjutnya, jika kita masih melihat kedudukan Fatimah sebagai seorang istri atau orang yang berkeluarga, tentunya ia juga mengharapkan adanya seorang anak yang membawa kecerian di setiap hari-hari yang ia jalani. Tentunya dengan penyakit impoten yang diderita suaminya, hal tersebut nampaknya akan sulit terjadi.
            Bukan hanya tidak mendapat keturunan, Fatimah juga harus menanggung malu atas ketidakpunyaan seorang anak di dalam suatu keluarga. Sebab, walaupun yang mandul adalah suaminya, orang-orang akan tetap menganggap bahwa Fatimahlah yang mandul. Sebuah gejolak batin yang sangat ironi dialami seorang istri yang memiliki suami impoten atau mandul.
            Jika yang mengalami kemandulan adalah seorang Fatimah, tentunya sang suami bisa berpoligami dengan menikah lagi agar memiliki keturunan. Namun, sebagai seorang istri, apakah Fatimah bisa melakukan poliandri dengan cara menikah lagi kepada laki-laki lain agar ia bisa memiliki keturunan? Cara lain mungkin dapat dilakukan Fatimah, yaitu bercerai dengan suaminya, kemudian menikah lagi dengan laki-laki lain. Jika hal demikian terjadi, masalah yang muncul adalah status yang akan disandang oleh Fatimah jika bercerai dengan Guru Isa. Ia akan memegang status sebagai seorang janda.
            Sebagai seorang laki-laki, jika ia telah bercerai dengan istrinya dan menyandang sebagai duda, nampaknya hal tersebut akan biasa saja. Sebab ia dapat menikah lagi dengan wanita lain. Berbeda dengan wanita jika sudah menyandang status sebagai seorang janda, hal tersebut sangat berat. Sebab, sebaik apapun wanita, jika sudah menyandang status seorang janda, maka citra yang muncul dalam masyarakat pun akan buruk.

            Sebuah pergolakan batin yaang benar-benar sangat luar biasa dialami tokoh Fatimah. Berdasarkan hal tersebut dapat kita pahami betapa sulitnya berada di posisi seperti itu. Di satu sisi ia menginginkan belaian kasih sayang seorang suami. Ketika ia tidak mendapatkan hal tersebut, ia harus menahannya. Tetapi, di sisi lain jika ia berusaha seperti itu, ia tidak akan memiliki keturunan dan akan mendapat citra buruk dari masyarakat, karena dianggap sebagai istri yang tidak bisa memberikan keturunan. Sedangkan jika ia bercerai dengan suaminya, maka menyandang status sebagai seorang janda, akan dipandang buruk oleh masyarakat. (Fahrudin Mualim)


Berbicara mengenai Sutan Takdir Alisyahbana, penulis pernah  membaca di sebuah surat kabar (Republika), dimuat pernyataan salah seorang tokoh islam yang mengatakan bahwa pencarian kebenaran STA pada akhirnya sampai kepada islam. STA yang dikenal sebagai budayawan, filsuf, pendidik dan sastrawan menemukan kembali islam setelah melakukan pergulatan yang panjang. Lahir dari keluarga islam yang taat, kemudian jauh dari islam, lalu mencari agama untuk pegangannya, dan mengukuhkan islam sebagai agama yang paling logis dan paling benar.
            Pada novel Layar Terkembang, banyak para pengamat berpandangan bahwa Layar Terkembang merupakan babak baru novel Indonesia. Hal tersebut karena menurut para pengamat, bahwa Layar Terkembang sudah tidak lagi berbicara mengenai adat yang menjadi bahan sastra pada waktu itu, melainkan mengenai kedudukan wanita dalam masyarakat.
            Berkaca pada penjelasan di atas, banyak pengamat sastra menilai tokoh Tuti pada novel Layar Terkembang identik dengan pemikiran STA. Meskipun hal tersebut dibantah secara langsung dalam sebuah kabar (Suara Karya), STA sendiri mengatakan bahwa “mengidentifikasi Tuti dan Yusuf sebagai penjelmaan saya adalah kekeliruan besar”.
            Novel Layar Terkembang, melalui tokoh Tuti selain menampilkan masalah feminisme yang berjuang dalam gerakan “Puteri Sedar”, juga menyampaikan kritikannya terhadap kaum tua bahwa agama hanya untuk orang-orang yang sudah pensiun.
            “... Tiadakah senang Engkang sekarang sudah bekerja selama itu mendapat pensiun yang tetap, sehingga sesentosa-sentosanya dapat menyerahkan dirinya untuk mempelajari agama dan menurut suruhan agama?...” (h. 31)
            “Saya? Ah, bukankah tadi kata Tuan Parta bahwa agama itu pekerjaan orang yang telah pensiun? Saya pun menanti saya pensiun dahulu, baru akan sembahyang...” (h. 35)
            Dalam kutipan di atas terlihat sekali bahwa STA sangat mengkritik golongan kaum tua yang beranggapan bahwa urusan agama hanya untuk pekerjaan orang-orang yang telah pensiun. Agama hanya akan dikerjakan apabila sudah tidak ada lagi yang diharapkan dalam suatu kehidupan. Kritikan STA dalam hal agama juga terlihat dari pandangannya bahwa agama hanya akan dikerjakan jika seseorang sudah putus asa dalam menjalani hidup, barulah orang akan ingat kepada agama. Tetapi jika hidup selamanya senang-senang saja, lupa pula orang kepada agama.
            Selanjutnya juga perasaan takut akan mati yang lebih dekat kepada orang-orang yang sudah tua tak bisa dihindarkan. Maka orang-orang barulah akan menjalani syariat agama. Tidak peduli orang tersebut tahu atau tidak apa yang diucapkannya dalam beribadah, tetapi dalam perbuatan yang tidak diketahuinya itu orang-orang akan ingat agama untuk meredakan rasa takutnya akan kematian.
            Tidak hanya mengkritik kaum tua, kritikan STA mengenai agama juga ditunjukkan kaum priyayi dan pelajar.
            “bagi engkau, segala apa salahnya,” ujar Tuti. “Bagi saya mengerjakan sesuatu yang tiada berguna, terang salah. Apa yang saya kerjakan hendaknya termakan oleh akal saya. Saya tidak mengerti apa gunanya agama yang dipakai golongan terpelajar, golongan priyayi bangsa kita sekarang.” (h. 36)
            Dari kutipan di atas, terlihat bahwa kaum priyayi dan pelajar tak lepas terkena kritikan STA. Melalui tokoh Tuti, STA berusaha mengkritik pandangan masyarakat yang membedakan kedudukan golongan priyayi dengan orang kampung dalam hal agama. Melalui tokoh Tuti pula, STA mengkritik agama yang dipakai orang kampung. Hal tersebut tidak lepas dari pendangan STA yang menganggap kehormatan orang kampung merupakan kehormatan yang membabi buta, sehingga mereka sendiri tidak dapat dan tidak sanggup mendalami hakikat agama sebenarnya. Akibatnya segala urusan agama mereka serahkan kepada kiai yang mereka junjung.
            Selanjutnya kritikan STA terhadap golongan priyayi adalah bahwa STA memiliki pandangan bagi mereka agama serta upacara yang dianggap bersangkutan dengan agama tersebut, seolah-seolah dipandang sesuatu yang memalukan, yang tidak berani dibawa di tengah khalayak yang terhormat. Tetapi untuk melepaskannya sama sekali mereka tidak berani pula, sebab pada waktu kematian atau pada waktu manusia perlu perhubungan akan kekuasaan gaib yang mengatasi kekuasaannya, mereka sendiri tidak memiliki kemampuan. Sehingga mereka memiliki keragu-raguan, yaitu jika kepercayaan akan kekuasaan gaib dipakai mereka malu, namun jika dibuang mereka juga tidak memiliki keberanian. Akibatnya bagi mereka agama hanya mendapat kedudukan di belakang. Sedangkan kritikannya terhadap pelajar adalah bahwa STA memiliki pandangan terhadap kaum pelajar yang memiliki keyakinan bahwa mereka akan memegang agama jika agama tersebut sesuai dengan akal mereka.

            Berdasarkan uraian tersebut, dapatlah kita simpulkan bahwa STA berusaha mengkritik kedudukan agama terhadap golongan tua, priyayi, serta pelajar. STA mengkritik pandangan mereka yang mengatakan bahwa agama hanya untuk mereka yang sudah tua, agama merupakan sesuatu yang tidak perlu dipercayai, serta agama adalah apa yang dapat diterima oleh akal dan pikiran yang merupakan orang terpelajar. (Fahrudin Mualim)
Pada pembahasan kelompok pertama, sempat dinyatakan bahwa novel Student Hidjo merupakan novel propaganda. Hal tersebut tidak lepas dari keberanian Mas Marco Kartodikromo mengungkapkan kenyataan yang menjadi perlawanannya terhadap kebijakan kolonial yang berkuasa pada waktu itu. Berdasarkan hal tersebut penulis akan menampilkan apa yang menjadi bentuk propaganda yang dilakukan Mas Marco dalamnovel Student Hidjo.
            Sedikit menggambarkan, pada awal cerita novel ini mengisahkan tentang  Potronojo yang ingin menyekolahkan anaknya yaitu Hidjo ke Belanda. Tujuan ayah Hidjo menyekolahkan anaknya ke Belanda adalah supaya Hidjo menjadi insinyur. Hal terebut dilakukan sebab ayahnya memiliki pandangan bahwa anaknya harus pintar agar lebih mudah mencari pekerjaan.
            Setelah Hidjo sampai di Belanda, tepatnya di kota Amsterdam. Pada waktu pertama kali ia menapakkan kakinya di tanah Belanda, saat itu juga ia bisa memerintahkan orang-orang Belanda.
“... Di Pelabuhan sudah berdesak-desakan orang yang hendak menjemput sanak familinya yang datang dengan naik Kapal Gunung. Suasana semacam itu sungguh luar biasa bagi Hidjo. Bukan luar biasa karena bagusnya pakaian orang-orang yang ada di situ. Tetapi luar biasa karena mulai saat itu Hidjo bisa memerintah orang-orang Belanda. Orang yang mana kalau di tanah Hindia kebanyakan sama bersifat besar kepala.” (h. 46)
            Inilah salah satu bentuk pengungkapan yang menjadi perlawanan Mas Marco, bahwa ternyata selama ini orang-orang pribumi tidak perlu merendahkan diri kepada orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia. Sebab, menurutnya orang-orang Belanda yang datang ke Hindia pada dasarnya sama dengan orang pribumi. Mereka datang ke Hindia hanya untuk  mencari pekerjaan dan sebetulnya ketika orang-orang Belanda itu kembali ke negaranya, mereka menjadi orang-orang yang biasa saja.
          “Setelah Hidjo dan leerar-nya turun dari kapal, mereka langsung ke hotel. Kedatangannya di situ, Hidjo dihormati betul oleh para pelayan hotel. Sebab mereka berpikir, kalau orang yang datang dari Tanah Hindia pasti banyak uangnya. Lebih-lebih kalau orang Jawa. ...” (h. 46)
            Selanjutnya yang menjadi kritikan Mas Marco pada bagian ini, bahwa ketika orang-orang pribumi sangat hormat kepada orang-orang Belanda yang ada di Hindia, hal tersebut malah membuat mereka menjadi besar kepala. Sebab, ketika orang-orang pribumi yang datang ke Belanda, suasananya pun akan sama,  yaitu mereka juga akan dihormati sekali. Sebab, orang Belanda berpikir bahwa setiap orang yang datang dari Hindia adalah orang-orang kaya. Sehingga maksud Marco di sini adalah tidaklah perlu orang pribumi menghinakan diri kepada orang Belanda. Sebab ketika orang pribumi yang datang ke Belanda, mereka juga sebaliknya akan hormat.
            Tidak hanya sampai di situ. Mas Marco juga berusaha mengungkapkan kekeliruan yang terjadi pada orang-orang pribumi. Orang-orang pribumi sangat kagum dengan kebudayaan Belanda, bahkan dalam urusan makanan, orang pribumi sangat suka makanan ala Belanda. Sebab menurut pandangan Mas Marco, segala kebudayaan yang dikagumi oleh orang pribumi yang serba ala Belanda merupakan sesuatu yang keliru. Orang-orang Belanda juga sebetulnya sangat kagum dengan kebudayaan-kebudayaan Hindia, terlebih lagi dalam hal makanan. Mereka juga sangat suka makanan-makanan ala Hindia, seperti nasi goreng.
Nee, Ma, saya punya resep masakan ala Jawa” sambung anak perempuannya sambil setengah tertawa.
Ach, Ma!” kata Betje  - anak perempuan tuanya – “Nasi goreng itu enak, saya pernah makan di warung Jawa!”
“Memang, saya suka sekali masakan Jawa!” (49)
            Tidak hanya sebatas suka dengan kebudayaan serta masakan ala Hindia, bahkan orang-orang Hindia memiliki keinginan untuk bisa memasak ala Hindia. Inilah yang coba dikritisi oleh Mas Marco bahwa orang-orang pribumi janganlah terlalu kagum dengan kebudayaan Barat. Sebab mereka juga justru kagum dengan kebudayaan dan masakan ala Hindia.
            Selain hal di atas, sebetulnya banyak sikap yang menunjukkan bahwa sebetulnya orang Barat (Belanda) ingin seperti orang Timur. Hal ini dapat dilihat dari sikap Betje yang mengatakan bahwa ia senang sekali resep masakan Jawa, bahkan Betje lebih  suka menjadi orang perempuan Hindia daripada menjadi perempuan Belanda. Dalam hal ini, Mas Marco mengkritik orang-orang yang kagum terhadap budaya Barat, seperti digambarkan pada tokoh Hidjo yang hidup, berpakaian, dan makan ala Barat.
            Selain  itu yang menjadi penguatan bahwa orang Barat sebenarnya sangat kagum dengan budaya Hindia terdapat pada sosok Controleur Walter yang berani merendahkan diri kepada orang Pribumi (Regent Djarak). Ia lebih suka melihat orang menandak daripada melihat orang berdansa, bahkan ia mau belajar menandak dan menyatakan menyukai adat istiadat orang Jawa. Tidak sampai di situ ia juga merasa marah ketika ada seorang Belanda yang berperilaku tidak sopan terhadap seorang jongos. Ia menyatakan bahwa adat istiadat Hindia sepuluh kali lebih halus daripada adatnya orang Eropa.
          “Apa tuan sudah menyelidiki bahwa adat-istiadat orang Hindia itu sepuluh kali lebih sopan daripada adatnya orang Eropa kebanyakan?” (h. 143)

            Munculnya tokoh Walter, seorang kolonial yang membela bangsa pribumi Jawa menunjukkan adanya upaya perlawanan yang dilakukan Mas Marco terhadap kebijakan-kebijakan kolonial Belanda pada waktu itu, selain alasan-alasan yang di ungkapkan sebelumnya di atas. Sehingga wajarlah bila novel Student Hidjo ini dikatakan sebagai novel propaganda. (Fahrudin Mualim).