My Dell, My Inspir(ati)on

Leave a Comment


Tantangan 30 hari menulis saya  mulai dengan menceritakan benda yang paling membantu saya dalam hal menulis. Tanpanya, mungkin beberapa karya amatiran saya tidak akan tercipta. Inilah kisah saya bersamanya, semoga kamu tidak terburu bosan membacanya.

Saya memanggilnya Dell, sesuai label di tubuhnya, dengan huruf /e/ yang miring. Namun, alasan pertama saya memanggilkannya Dell justru bukan karena itu. Saya membayangkan Dell adalah panggilan untuk Delisa, Delima, atau Della. Sifat feminim yang muncul tiap kali saya memanggilnya. Dialah laptop pertama saya.

Saya mendapatkannya tahun 2011, tepatnya memasuki tahun kedua saat saya kuliah di perguruan tinggi negeri di pinggir ibu kota. Tidak mudah untuk meraihnya. Saya harus menyisihkan uang mingguan di kosan dan menabung dari hasil upah sebulan jualan di pasar ketika bulan puasa. Itu pun masih belum cukup, sampai akhirnya uang beasiswa pertama saya turun. Jumlahnya memang tidak besar, tapi cukup untuk menambah uang tabungan saya tadi. Dengan uang yang pas-pasan inilah saya mendapatkannya.

Di zamannya, dia adalah laptop yang tergolong biasa-biasa saja. Tipenya sebagai Dell Inspiron N4030 hanya memiliki spesifikasi Intel Pentium P6200 (2,13 GHz), 2 GB DDR3, 320 GB HDD. Tampilannya juga sederhana dengan warna hitam pekat di seluruh tubuhnya. Bagian depannya saya taruh stiker hasil oleh-oleh waktu naik gunung di Cikurai dan Guntur (Garut)  dan satu stiker serial anime One Piece. Bobotnya cukup lumayan berat  dibanding laptop-laptop keluaran sekarang yang tipis dan colour full. Namun, saya pastikan bobotnya yang besar dan berat juga menunjukkan perjuangan dan pengorbannnya yang besar pula untuk saya.




Seminggu pertama bersamanya, dia sudah jatuh sakit. Tidak mau membuka diri, dan hanya memunculkan layar hitam tiap kali saya menyapanya. Setelah diperiksa, vonis menyatakan kalau salah satu bagian tubuhnya mengalami kerusakan, dia terkena bad sector hardisk. Karena sakitnya, hubungan saya dengan salah seorang teman sempat sedikit kaku. Teman saya merasa bersalah karena telah memasukkan flashdisk yang ternyata sudah terjangkiti virus. Untunglah, saya masih memiliki garansi resmi pembelian, sehingga saya masih bisa terus bersamanya hingga detik ini.

Hari-hari telah saya lalui bersama. Berbagai hal gila juga sudah saya lakukan dengannya, mulai dari menulis, nyanyi bareng, nonton film, sampai menggambar. Untuk yang terakhir ini, dialah yang mengajari saya menggambarkan. Saya yang tidak memiliki jiwa seni, kini mulai menyukai desain grafis. Bahkan, dia pula yang mendorong saya menyukai dunia editing. Meski hanya sebatas amatiran, tapi saya benar-benar menyukai kegiatan tersebut.

Saya pernah hampir kehilangan dia. Waktu itu, saat sedang salat Jumat di masjid, saya meninggalkannya sendirian di kosan. Setelah pulang, saya mendapati kosan sudah dalam keadaan berantakan. Seseorang  ingin membawanya pergi. Beruntungnya, dia bersembunyi di tempat yang aman,  sehingga dia selamat. Saya tidak tahu apa jadinya kalau dia berhasil dibawa pergi pencuri itu. Bukan hanya akan kehilangan laptop, semua data yang ada di dalamnya juga akan ikut hilang. Untungah, hal itu tidak terjadi.

Performanya yang pas-pasan, yakni hanya dibekali intel pentium dual core dengan RAM 2 GB justru sering saya paksa melakukan pekerjaaan-pekerjaan berat. Salah satu yang paling saya ingat adalah bagaimana dia sampai 2 hari penuh saya biarkan menyala untuk meng-edit video drama. Memang saat itu saya berhasil menyelesaikan tugas tersebut tepat waktu, tapi imbasnya adalah baterai dia menjadi bocor. Alhasil, sejak saat itu, untuk bisa menyalakannya saya harus mencari arus listrik terdekat. Meski begitu, untuk performa yang lain, dia masih sangat mumpuni. Buktinya, dia masih bisa membantu saya mengerjakan hal-hal yang lain, seperti desain grafis dengan aplikasi Adobe Ilustrator yang notabene membutuhkan spesifikasi tinggi. Tidak hanya itu, dia pula yang membantu hingga saya bisa menyelesaikan skripsi. Inilah yang membuat saya makin sayang dengan dia. 



Lulus dari dunia perkuliahan tidak lantas membuatnya berhenti membantu segala aktivitas saya. Sebagai penyunting naskah saat bekerja di sebuah kantor pemerintahan, justru dialah yang setiap hari membantu semua pekerjaan saya. Ini bukan karena kantor tempat saya bekerja tidak menyediakan komputer, tetapi entah mengapa saya justru lebih nyaman mengerjakan semua pekerjaan saya dengan laptop pribadi ini. Meski saya harus membawa beban lebih berat, tetapi hal itu tidak menjadi masalah buat saya. Justru sebaliknya, hal ini menjadi masalah buat dia. 

Perjalanan kerja yang  saya tempuh menggunakan motor ditambah dengan cara saya berkendara yang buruk membuat dia sering mengalami benturan. Imbasnya, bagian siku sebelah  kiri dia rusak, lebih tepatnya patah, sehingga layar monitornya tidak bisa berdiri tegak. Ini adalah adalah penyakit ketiga selama dia bersama saya, setelah sebelumnya sempat mengalami bad sector hardisk dan bocor baterai hingga dua kali.



Tadinya saya pikir sikunya yang patah tidak berpengaruh banyak terhadap keadaannya. Namun, dugaan saya ternyata salah. Kalau saya biarkan seperti itu akan mempengaruhi kabel fleksibel yang ada di dekatnya dan membuat LCD-nya menjadi black screen. Tidak mau sesuatu yang buruk terjadi, saya langsung membawanya ke tempat servis. Butuh sekitar lima hari untuk membuatnya kembali seperti semula, tetapi dengan baterai yang tetap bocor.

Selang satu tahun, penyakitnya kembali kambuh. Lagi-lagi, siku sebelah kiri layarnya patah dan ditambah bagian cmos baterainya ikut rusak, yang jika dibiarkan terus menerus akan berpengaruh ke mainboard. Karena usia dan penyakitnya ini, saya memutuskan untuk mengistirahatkan. Berat saya katakan, tapi memang untuk saat ini saya membutuhkan laptop dengan performa yang lebih kuat. Apalagi tuntutan pekerjaan juga semakin tinggi. Akhirnya, saya memutuskan uang untuk membetulkan Dell saya tabung untuk membeli laptop baru. 



Kini, saya memang sudah memiliki laptop baru:  Lenovo Ideapad 100-141BD. Spesifikasinya jauh lebih tinggi dari Dell, tapi saya pastikan dia tidak bisa menggantikan peran yang selama ini Dell berikan. Namun, bukan berarti pula saya memandang sebelah mata laptop baru saya. Apalagi kalau sampai tidak mensyukurinya. Karena bagi saya, Dell adalah bagian yang tidak terpisahkan dari hidup saya selama lima tahun terakhir, sehingga saya bisa seperti ini. Terlihat berlebihan? Tak mengapa. Setiap manusia pasti punya ceritanya sendiri bukan? Sekalipun dengan sesuatu yang tak bernyawa.
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar