Tiada Senja, Hanya Deru Hujan

Leave a Comment


Setelah memutuskan tidak masuk kantor hari ini karena kondisi badan yang kurang fit,  ternyata diam di rumah juga bukan jadi jalan keluar yang asik. Tidak ada aktivitas yang menarik, bahkan nyaris seharian hanya tiduran di kamar justru bikin kepala semakin pusing.

Selepas ashar saya mencoba keluar kamar. Mengambil sepotong buku, menyiapkan secangkir kopi, dan mulai duduk di beranda rumah sambil menanti senja. Dulu, saya sering menghabiskan waktu sore seperti ini. Biasanya bersama bapak dan ibu untuk sekadar ngobrol ngalor-ngidul dan akan berhenti kalau musala dekat rumah sudah mengumandangkan azan maghrib. Namun, selepas kepergian ibu yang tepat Sabtu lalu sudah 1 tahun, rutinitas seperti ini mustahil akan ada lagi. Ya, sejak kepergian ibu, kami (saya dan bapak) memutuskan menjalani hidup masing-masing. Dan, kami sepakat untuk saling menghargai keputusan tersebut.

Sore ini, saya sengaja membaca yang ringan-ringan saja. Buku kumpulan cerpen Rendra tahun 1954 - 1957: Ia Sudah Bertualang. Buku ini saya beli tepat ketika menghadiri acara Haul 80 Tahun Rendra di kampus saya (UIN Syarif Hidayatullah), sekitar setahun lalu. Sudah lama saya menginginkan buku kumpulan cerpen Rendra ini. Sebab, Rendra memang lebih banyak menciptakan puisi atau sajak daripada prosa. Ini pula yang membuat saya sangat penasaran dengan gaya bercerita Rendra.

Oh iya, di buku ini ada sembilan kumpulan cerpen Rendra, mulai dari Ia Sudah Bertualang, Ia Punya Leher yang Indah, Ia Teramat Lembut, Sehelai Daun dalam Angin, serta beberapa cerpen lain. Meski hampir semua cerita di buku ini saya hafal, tetapi cerita tersebut tidak bosan dan selalu menarik untuk dibaca (lagi). Menurut saya, Rendra berhasil mengangkat permasalahan-permasalahan ringan, tetapi tetap ada dan luput dari pembahasan.

Dari sembilan cerpen tersebut, saya paling suka dengan Sehelai Daun dalam Angin. Cerpen ini bercerita tentang seorang tokoh yang mengirimkan surat kepada sahabatnya yang telah pergi sekian lama meninggalkan keluarganya. Melalui surat tersebut, si tokoh menceritakan kondisi keluarga sahabatnya selepas ditinggal pergi hingga saat ini. Menurut saya, gaya bercerita Rendra melalui cerpen ini sangat menarik. Ia berhasil mengajak saya (pembaca) seakan terlibat langsung dengan tokoh yang ada di dalam cerita tersebut. Dengan kata lain, saya-lah orang yang sedang menerima surat tersebut.

Terlalu asik menikmati cerita di buku tersebut saya sampai tidak sadar kalau langit mulai terlihat gelap. Awan tebal menyelimuti langit membuat malam terasa begitu cepat. Sesekali saya coba tengok ke jalan depan rumah. Anak-anak SD terlihat terburu-buru untuk segera sampai rumah. Begitu juga yang baru pulang kerja. Mereka takut kehujanan. Benar saja, hanya selang beberapa menit hujan deras langsung menikam daratan. Keinginan saya menikmati senja hari ini pupus. Tiada senja, hanya deru hujan. 


Bekasi, selepas hujan 8 November 2016
Next PostPosting Lebih Baru Previous PostPosting Lama Beranda

0 komentar:

Posting Komentar