Infografis: Mujahid Alawy (http://bit.ly/1M5jcbb) |
Berbicara energi alternatif, pemerintah
Indonesia sebenarnya sudah lama menerapkan kebijakan dalam memanfaatkan sumber
energi baru dan terbarukan yang lebih ramah lingkungan, termasuk dengan
memasukkan sumber daya air ke dalam buku Rencana Induk Pengembangan Energi BaruTerbarukan (RIPEBAT) 2010-2025. Hal tersebut dengan melihat enam provinsi yang ada
di Indonesia memiliki potensi tenaga air yang besar untuk dimanfaatkan menjadi
Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMH).
Enam provinsi tersebut di antaranya Papua,meliputi
sungai Memberamo, Derewo, Ballem, Tuuga, Wiriagar/Sun,Kamundan dan Kladuk
dengan total potensi mencapai 12.725 megawatt (Mw). Potensi terbesar lainnya
yaitu Kalimantan Timur, meliputi sungai Kerayan, Mentarang, Tugu, Mahakam, Boh,
Sembakung dan Kelai dengan total potensi mencapai 6.743 Mw. Sementara empat
provinsi lain yang memiliki potensi adalah Sulawesi Selatan, Kalimantan Barat,
Sumatera Utara dan Aceh.
Menurut Direktur Aneka Energi Baru Terbarukan,
Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Alihudin Sitompul mengatakan
bahwa dipilihnya hidro karena potensinya yang besar dan bisa berjalan 24 jam,
sehingga ini menjadi firm capacity,
bukan seperti tenaga surya yang hanya substitusi empat jam peak-nya. Selain itu, dia juga mengungkapkan bahwa sumber energi
hidro yang begitu besar, saat ini belum seluruhnya tergarap maksimal dan hanya
terbuang begitu saja.
Potensi PLTA skala mini dan mikro yang sudah
teridentifikasi adalah 500 Mw, sedangkan yang sudah dibangun sebesar 210 MW
atau setara dengan 42 persen. Potensi PLTA skala mini dan mikro diduga jauh
lebih besar dari angka tersebut, yakni lebih dari 500 MW, apalagi jika
menggunakan potensi energi hidro skala besar dan kecil. Kenyataannya memang
banyak terjadi pembangunan PLTMH di lokasi yang sebenarnya memiliki potensi
jauh lebih besar dari kapasitas terbangkit dengan berbagai alasan di antaranya
sesuai dengan jumlah listrik, biaya investasi dan sudah dapat dipenuhi
oleh sumber daya lokal.
Harga pokok produksi listrik yang dibangkitkan PLTMH juga
sangat kompetitif dibandingkan dengan teknologi pembangkit lainnya, disamping
itu teknologi PLTMH sudah dikuasai oleh ahli dan manufaktur lokal, dengan
demikian harganya sudah kompetitif dibandingkan produk import. Pada awalnya
PLTMH banyak digunakan untuk menyediakan listrik di wilayah terpencil dan belum
terjangkau jaringan listrik oleh PLN. Biaya investasi umumnya berasal dari
pemerintah, bantuan bilateral atau lembaga donor. Ketika harga BBM naik,
beberapa instalasi dibangun oleh perkebunan swasta guna menggantikan unit
pembangkit listrik dengan bahan bakar fosil, demikian juga ketika pemerintah
membuka peluang bagi produsen listrik swasta untuk menjual ke PLN, beberapa
investor membangun PLTMH kemudian listrik yang dihasilkan dijual ke PLN.
Sumber:
http://bit.ly/1q0fKnZ
http://bit.ly/1UEEJcX
Tulisan ini
disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
0 komentar:
Posting Komentar