Pada
pembahasan kelompok pertama, sempat dinyatakan bahwa novel Student Hidjo merupakan novel propaganda. Hal tersebut tidak lepas
dari keberanian Mas Marco Kartodikromo mengungkapkan kenyataan yang menjadi
perlawanannya terhadap kebijakan kolonial yang berkuasa pada waktu itu. Berdasarkan
hal tersebut penulis akan menampilkan apa yang menjadi bentuk propaganda yang
dilakukan Mas Marco dalamnovel Student
Hidjo.
Sedikit
menggambarkan, pada awal cerita novel ini mengisahkan tentang Potronojo yang ingin menyekolahkan anaknya
yaitu Hidjo ke Belanda. Tujuan ayah Hidjo menyekolahkan anaknya ke Belanda
adalah supaya Hidjo menjadi insinyur. Hal terebut dilakukan sebab ayahnya
memiliki pandangan bahwa anaknya harus pintar agar lebih mudah mencari
pekerjaan.
Setelah
Hidjo sampai di Belanda, tepatnya di kota Amsterdam. Pada waktu pertama kali ia
menapakkan kakinya di tanah Belanda, saat itu juga ia bisa memerintahkan
orang-orang Belanda.
“... Di Pelabuhan
sudah berdesak-desakan orang yang hendak menjemput sanak familinya yang datang
dengan naik Kapal Gunung. Suasana semacam itu sungguh luar biasa bagi Hidjo.
Bukan luar biasa karena bagusnya pakaian orang-orang yang ada di situ. Tetapi
luar biasa karena mulai saat itu Hidjo bisa memerintah orang-orang Belanda.
Orang yang mana kalau di tanah Hindia kebanyakan sama bersifat besar kepala.”
(h. 46)
Inilah
salah satu bentuk pengungkapan yang menjadi perlawanan Mas Marco, bahwa
ternyata selama ini orang-orang pribumi tidak perlu merendahkan diri kepada
orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia. Sebab, menurutnya orang-orang Belanda
yang datang ke Hindia pada dasarnya sama dengan orang pribumi. Mereka datang ke
Hindia hanya untuk mencari pekerjaan dan
sebetulnya ketika orang-orang Belanda itu kembali ke negaranya, mereka menjadi
orang-orang yang biasa saja.
“Setelah Hidjo dan leerar-nya turun dari kapal, mereka
langsung ke hotel. Kedatangannya di situ, Hidjo dihormati betul oleh para
pelayan hotel. Sebab mereka berpikir, kalau orang yang datang dari Tanah Hindia
pasti banyak uangnya. Lebih-lebih kalau orang Jawa. ...” (h. 46)
Selanjutnya
yang menjadi kritikan Mas Marco pada bagian ini, bahwa ketika orang-orang
pribumi sangat hormat kepada orang-orang Belanda yang ada di Hindia, hal
tersebut malah membuat mereka menjadi besar kepala. Sebab, ketika orang-orang
pribumi yang datang ke Belanda, suasananya pun akan sama, yaitu mereka juga akan dihormati sekali.
Sebab, orang Belanda berpikir bahwa setiap orang yang datang dari Hindia adalah
orang-orang kaya. Sehingga maksud Marco di sini adalah tidaklah perlu orang
pribumi menghinakan diri kepada orang Belanda. Sebab ketika orang pribumi yang
datang ke Belanda, mereka juga sebaliknya akan hormat.
Tidak
hanya sampai di situ. Mas Marco juga berusaha mengungkapkan kekeliruan yang
terjadi pada orang-orang pribumi. Orang-orang pribumi sangat kagum dengan
kebudayaan Belanda, bahkan dalam urusan makanan, orang pribumi sangat suka makanan
ala Belanda. Sebab menurut pandangan Mas Marco, segala kebudayaan yang dikagumi
oleh orang pribumi yang serba ala Belanda merupakan sesuatu yang keliru. Orang-orang
Belanda juga sebetulnya sangat kagum dengan kebudayaan-kebudayaan Hindia,
terlebih lagi dalam hal makanan. Mereka juga sangat suka makanan-makanan ala
Hindia, seperti nasi goreng.
“Nee, Ma, saya punya resep masakan ala Jawa” sambung anak
perempuannya sambil setengah tertawa.
“Ach, Ma!” kata Betje - anak
perempuan tuanya – “Nasi goreng itu enak, saya pernah makan di warung Jawa!”
“Memang, saya suka
sekali masakan Jawa!” (49)
Tidak
hanya sebatas suka dengan kebudayaan serta masakan ala Hindia, bahkan
orang-orang Hindia memiliki keinginan untuk bisa memasak ala Hindia. Inilah
yang coba dikritisi oleh Mas Marco bahwa orang-orang pribumi janganlah terlalu
kagum dengan kebudayaan Barat. Sebab mereka juga justru kagum dengan kebudayaan
dan masakan ala Hindia.
Selain
hal di atas, sebetulnya banyak sikap yang menunjukkan bahwa sebetulnya orang
Barat (Belanda) ingin seperti orang Timur. Hal ini dapat dilihat dari sikap
Betje yang mengatakan bahwa ia senang sekali resep masakan Jawa, bahkan Betje
lebih suka menjadi orang perempuan
Hindia daripada menjadi perempuan Belanda. Dalam hal ini, Mas Marco mengkritik
orang-orang yang kagum terhadap budaya Barat, seperti digambarkan pada tokoh
Hidjo yang hidup, berpakaian, dan makan ala Barat.
Selain itu yang menjadi penguatan bahwa orang Barat
sebenarnya sangat kagum dengan budaya Hindia terdapat pada sosok Controleur Walter yang berani
merendahkan diri kepada orang Pribumi (Regent Djarak). Ia lebih suka melihat
orang menandak daripada melihat orang berdansa, bahkan ia mau belajar menandak
dan menyatakan menyukai adat istiadat orang Jawa. Tidak sampai di situ ia juga
merasa marah ketika ada seorang Belanda yang berperilaku tidak sopan terhadap
seorang jongos. Ia menyatakan bahwa adat istiadat Hindia sepuluh kali lebih
halus daripada adatnya orang Eropa.
“Apa tuan sudah menyelidiki bahwa
adat-istiadat orang Hindia itu sepuluh kali lebih sopan daripada adatnya orang
Eropa kebanyakan?” (h. 143)
Munculnya
tokoh Walter, seorang kolonial yang membela bangsa pribumi Jawa menunjukkan
adanya upaya perlawanan yang dilakukan Mas Marco terhadap kebijakan-kebijakan
kolonial Belanda pada waktu itu, selain alasan-alasan yang di ungkapkan
sebelumnya di atas. Sehingga wajarlah bila novel Student Hidjo ini dikatakan sebagai novel propaganda. (Fahrudin Mualim).
0 komentar:
Posting Komentar