Kamu tahu, Nabi Adam As saja yang sudah jelas-jelas nabi, dan
tidak diragukan lagi ketaqwaannya, masih bisa tergoda oleh wanita. Dia diusir
dari surga karena menuruti keinginan Hawa untuk makan buah terlarang. Apalagi
kita manusia biasa, yang imannya hanya setipis irisan bawang. Ingat Nak, yang
namanya iman kadang naik, kadang turun.
Itu merupakan salah satu scene
ketika bapak sedang mengajari anaknya. Pekerjaan bapak sebagai pedagang di
pasar memang membuatnya memiliki kosakata yang mumpuni, serta terampil
menggunakan retorika yang baik. Maka tidak heran, kalau bapak sedang mengajari
anak-anaknya, dia sering menggunakan analogi-analogi yang tidak pernah terduga.
Bahkan, kalimat “iman manusia hanya setipis irisan bawang” dari bapak menjadi
kalimat “sakral” yang hingga kini terus saya jadikan pegangan.
Pernah juga sekali waktu bapak gemas pada saya yang saat itu
lambat membantunya jualan. Dia bilang, pedagang itu harus “baligh”, tangannya,
mulutnya, semuanya. Jangan lambat, nanti pembeli keburu kabur. Buat kamu yang
bingung, kata “baligh” maksud bapak di sini adalah dewasa. Pedagang harus dewasa
melayani pembeli, karena pembeli adalah raja. Ketika itu usia saya memang baru
kelas V madrasah ibtidaiyah (setingkat SD).
Ya, bapak memang tipe orang yang memilih diam ketika anaknya
sedang melakukan kesalahan. Diamnya bapak justru menjadi alarm buat
anak-anaknya untuk segera intropeksi diri. Baginya, selama keresahannya masih dalam
taraf wajar, bapak cukup menyampaikannya kepada ibu. Namun, kalau sudah terlalu gemas, bapak bisa langsung
menjadi orang yang to the point. Ini
adalah cara unik bapak memberikan perhatian kepada anak-anaknya.
Jika melihat dari silsilah keluarga, sebetulnya bapak tidak
memiliki darah sebagai saudagar. Keterampilannya berdagang justru didapat dari
keluarga ibu. Tepatnya saat krisis moneter tahun 1998, bapak (termasuk ibu)
adalah orang-orang yang juga menjadi korban PHK. Sejak itu pula, untuk
menyambung hidup keluarga, bapak mulai berjualan di pasar, sedangkan ibu
membantu dengan berjualan kue kecil-kecilan yang dititipkan ke warung-warung.
Badannya yang kurus-tinggi tidak membuat dirinya lemah
menghadapi rintangan hidup. Justru, dia adalah sosok tangguh yang menjadi
panutan bagi anak-anaknya. Tanpa mengesampingkan peran ibu, dialah orang yang
paling berjasa mengantarkan saya seperti sekarang. Seandainya waktu itu saya
tidak menuruti keinginannya, dan memilih
bekerja saat lulus SMA, mungkin hingga saat saya tidak merasakan gelar sarjana.
Sehat selalu bapak, nasihat-nasihatmu akan selalu saya ingat.
Menjelang sore, 5 Februari 2017
0 komentar:
Posting Komentar