Pada
novel Jalan Tak Ada Ujung terdapat
tiga tokoh utama, yaitu Guru Isa, Hazil, dan Fatimah. Terlalu banyak konflik
yang memunculkan tokoh Guru Isa dan Hazil membuat orang terpaku pada kedua
tokoh tersebut. Hal ini membuat terlalu banyak orang lebih melihat psikologi
yang terdapat pada tokoh Guru Isa maupun Hazil. Akibatnya, tokoh Fatimah
menjadi terlupakan. Padahal, sosok Fatimah merupakan tokoh yang sangat penting
terhadap jalannya cerita yang ada pada novel ini.
Pada
awalnya Fatimah adalah seorang istri yang baik, setia serta sabar. Ia mau
melayani suaminya, yaitu Guru Isa walaupun sebenarnya ia berusaha melawan
pergolakan batin yang menderanya. Pergolakan batin yang hadir dari penyakit
suaminya yang impoten. Sebagai seorang wanita, terlebih sebagai seorang istri,
pasti Fatimah menginginkan kebahagian bukan hanya lahir namun juga batin.
Inilah salah satu pergolakan batin yang selama ini ia tahan sebagai seorang
wanita.
Sebagai
seorang istri dari keluarga yang serba kurang secara ekonomi, Fatimah berusaha
sekuat tenaga hutang di sana-sini hanya untuk keluarganya tetap bisa makan.
Sedangkan yang mendapat malu atau kena marah setiap kali ia hutang adalah ia
sendiri bukan Guru Isa yang merupakan seorang kepala keluarga.
“kalau
hari ini engkau tidak dapat uang, aku tidak tahu lagi kemana harus menghutang beras.” (h. 65)
Seperti
dikatakan sebelumnya, bahwa ada hal yang menjadi pergolakan batin Fatimah,
yaitu dapat kita lihat dari tokoh Guru Isa yang mengalami penyakit impoten.
Sebagai seorang istri, tentunya ia sangat mendambakan belaian seorang suami.
Namun, pada kenyataannya ia tidak mendapatkan itu dari Guru Isa. Sebuah
perasaan yang campur aduk dialami Fatimah antara sedih, kesal, marah, atau
bahkan malu.
“Dalam tempat tidurnya Fatimah tidak
dapat tertidur kembali. Kejadian di kamar sebelah mengingatkan kembali setelah
ketika perkelahian mereka, beberapa hari seteelah malam celaka, enam bulan
setelah mereka kawin. Dan kemudian percobaan-percobaan yang mereka atau Guru
Isa yang tidak kunjung-kunjung berhasil. Perasaan-perasaan yang timbul dalam
hatinya –kecewa, kesal, marah, sedih dan malu. Malu pada dirinya sendiri dan
malu pada suaminya sendiri.” (h. 61)
Sebagai
seorang perempuan, terlebih wanita yang memiliki pendidikan, Fatimah lebih bisa menahan diri dibandingkan
dengan laki-laki. Hal itu dapat kita
lihat ketika ia mendapatkan suami yang memiliki penyakit impoten. Ia tetap
setia melayani suaminya. Sebab, bisa saja ia mencari kepuasan dengan laki-laki
lain, namun ia tidak mau bahkan merasa jijik jika tubuhnya dipegang oleh lelaki
yang tidak dikawininya.
“... soal agama tidak merupakan
faktor dalam pikiran yang menahan Fatimah mencari kepuasan di luar rumahnya,
karena dia sendiri tidak sembahyang. Seperti Guru Isa juga. Tetapi sesuatu
dalam perbuatan bersetubuh demikian di luar suaminya menimbulkan rasa jijik
dalam diri Fatimah. Dia jijik mengingat dirinya dipegang oleh laki-laki yang
tidak dikawininya.” (h. 62)
Selanjutnya,
jika kita masih melihat kedudukan Fatimah sebagai seorang istri atau orang yang
berkeluarga, tentunya ia juga mengharapkan adanya seorang anak yang membawa
kecerian di setiap hari-hari yang ia jalani. Tentunya dengan penyakit impoten
yang diderita suaminya, hal tersebut nampaknya akan sulit terjadi.
Bukan
hanya tidak mendapat keturunan, Fatimah juga harus menanggung malu atas
ketidakpunyaan seorang anak di dalam suatu keluarga. Sebab, walaupun yang
mandul adalah suaminya, orang-orang akan tetap menganggap bahwa Fatimahlah yang
mandul. Sebuah gejolak batin yang sangat ironi dialami seorang istri yang
memiliki suami impoten atau mandul.
Jika
yang mengalami kemandulan adalah seorang Fatimah, tentunya sang suami bisa
berpoligami dengan menikah lagi agar memiliki keturunan. Namun, sebagai seorang
istri, apakah Fatimah bisa melakukan poliandri dengan cara menikah lagi kepada
laki-laki lain agar ia bisa memiliki keturunan? Cara lain mungkin dapat
dilakukan Fatimah, yaitu bercerai dengan suaminya, kemudian menikah lagi dengan
laki-laki lain. Jika hal demikian terjadi, masalah yang muncul adalah status
yang akan disandang oleh Fatimah jika bercerai dengan Guru Isa. Ia akan
memegang status sebagai seorang janda.
Sebagai
seorang laki-laki, jika ia telah bercerai dengan istrinya dan menyandang
sebagai duda, nampaknya hal tersebut akan biasa saja. Sebab ia dapat menikah
lagi dengan wanita lain. Berbeda dengan wanita jika sudah menyandang status
sebagai seorang janda, hal tersebut sangat berat. Sebab, sebaik apapun wanita,
jika sudah menyandang status seorang janda, maka citra yang muncul dalam
masyarakat pun akan buruk.
Sebuah
pergolakan batin yaang benar-benar sangat luar biasa dialami tokoh Fatimah.
Berdasarkan hal tersebut dapat kita pahami betapa sulitnya berada di posisi
seperti itu. Di satu sisi ia menginginkan belaian kasih sayang seorang suami.
Ketika ia tidak mendapatkan hal tersebut, ia harus menahannya. Tetapi, di sisi
lain jika ia berusaha seperti itu, ia tidak akan memiliki keturunan dan akan
mendapat citra buruk dari masyarakat, karena dianggap sebagai istri yang tidak
bisa memberikan keturunan. Sedangkan jika ia bercerai dengan suaminya, maka
menyandang status sebagai seorang janda, akan dipandang buruk oleh masyarakat. (Fahrudin Mualim)
0 komentar:
Posting Komentar