Mpok Nyai saat melayani para pembeli |
"kue... kue... nasi
uduk, ketan, lontong sayur" kira-kira begitulah tagline-nya kalau lagi jualan. Terkadang Mpok Nyai sesekali
memanggil nama-nama si empunya rumah menawarkan dagangannya seraya
membangunkan.
Berbekal sepeda tua,
dia berkeliling kampung mulai sehabis subuh sampai jam 8 atau 9 pagi. Tidak
tentu. Semua makanan yang dia jual bukan buatannya sendiri, tapi mengambil dari
tetangga tetangganya yang jauh. Kalau istilah kerennya saat ini, Mpok Nyai tak
ubahnya seorang reseller, tapi ini
versi offline.
Sesekali saya membeli
makanan yang dijual Mpok Nyai, meski tidak setiap hari. Alasan pertama karena
saya orang yang kurang suka sarapan, sedangkan yang kedua saya orang yang malas
bangun pagi. Alasan kedua inilah yang paling mendorong saya untuk kurang suka
dengan yang namanya sarapan.
Kembali ke Mpok Nyai.
Setelah pulang jualan untuk sarapan. Dia masih berkeliling lagi buat jualan.
Kalau yang kedua ini, dia menjual aneka macam lauk pauk, mulai dari ikan, ayam,
sayur, sampai pepes tahu. Porsinya yang besar, harganya yang murah, dan rasanya
yang lumayan enak, membuat dagangan Mpok Nyai laku keras. Tentunya (juga)
semakin bikin beberapa ibu malas buat masak.
Mpok Nyai adalah salah
satu pedagang kue keliling yang masih eksis di tempat tinggal saya. Namun,
gara-gara Mpok Nyai ini pula beberapa pertanyaan iseng suka lewat di pikiran
saya. Mulai dari kapan waktu bikin kue, besaran keuntungan yang Mpok Nyai
terima, sampai ke pertanyaan, kenapa Mpok Nyai ga bikin sendiri kuenya, kan
untungnya lebih besar.
Berbagai pertanyaan
seperti itu sering mampir di pikiran saya. Ini tidak lepas dari berita yang
saya baca beberapa waktu lalu tentang kisah-kisah perempuan yang sukses dalam
menjalankan UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah). Usut punya usut, ternyata salah
satu yang turut mempengaruhi para pelaku UMKM berhasil dalam menjalankan usahanya adalah karena minimnya biaya produksi yang mereka
keluarkan. Biaya produksi di sini salah satunya adalah penggunaan bahan bakar
yang mereka gunakan. Beberapa pelaku UMKM mulai beralih menggunakan gas bumi
setelah sebelumnya menggunakan gas elpiji. Ini
ternyata menjadi alternatif yang sangat ampuh dalam menekan biaya produksi.
Saya membaca di Republika online, industri rumahan
pembuat lontong di daerah Surabaya semakin bersinar setelah mendapat aliran gas
bumi dari PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN). Kemudian saya baca di dream.co.id, di daerah Medan, Sumatera Utara, terdapat
pengusaha ayam penyet yang mampu memangkas biaya produksi hingga Rp4,2 juta setelah menggunakan gas milik PGN.
Gara-gara melihat manfaat yang diberikan gas bumi PGN kepada ibu-ibu
rumah tangga inilah yang bikin saya jadi semakin penasaran, sudah sejauh mana
gas bumi PGN ini dialirkan ke rumah tangga. Jangan-jangan di tempat tinggal
saya juga sudah mendapat aliran gas bumi PGN.
Setelah menelusuri informasi terkait daerah yang mendapat aliran gas
bumi PGN, saya mendapat sedikit pencerahan. Kira-kira begini info yang saya
dapat dari infobanknews.com,
“Menteri ESDM, Sudirman Said, menyerahkan secara resmi penugasan itu
kepada PGN pada 19 Agustus 2015. PGN diberikan kepercayaan untuk mengelola dan
mengoperasikan jaringan gas untuk 43.334 rumah tangga di 11 kota/kabupaten.
Sebelas kota/kabupaten tersebut adalah Blora sebanyak 4.000 sambungan rumah
(SR), Semarang sebanyak 4.000 SR, rumah susun di Jabodetabek (5.234 SR),
Kabupaten Bogor (4.000 SR), Kota Cirebon (4.000 SR), Kota Palembang (3.311 SR),
Kota Surabaya (2.900 SR), Kota Depok (4.000 SR), Kota Tarakan (3.366 SR), Kota Bekasi (4.628 SR), dan Kabupaten Sorong (3.898 SR)”.
Dari informasi tersebut, saya jadi tahu kalau ternyata di Bekasi sudah
mendapat aliran gas bumi PGN. Adapun perihal belum sampai ke daerah saya
(Babelan), yang konon kata orang-orang jauhnya naudzubillah, saya masih berbaik sangka kalau pihak PT PGN masih
secara bertahap mengoperasikan jaringan gas tersebut. Berbaik sangka itu baik
kawan.
Saya sendiri berharap, aliran gas bumi PGN bisa secepatnya sampai ke
desa saya (Kebalen). Saya pribadi sudah
tidak sabar membayangkan Mpok Nyai dengan koleganya ketika memasak menggunakan
gas bumi milik PGN.
Jika itu benar terjadi, bukan
tidak mungkin kue-kue yang Mpok Nyai
jual, ukurannya akan semakin besar dan harganya bisa jadi
makin murah lagi. Kalau sudah begini, saya selaku konsumen, meski bukan
konsumen tetap, merasa turut mendapat berkah dengan semakin besarnya ukuran-ukuran
kue yang Mpok Nyai jual. Satu lagi, suara khas Mpok Nyai setiap pagi pun akan
semakin merdu didengar, "kue... kue... nasi uduk, ketan, lontong
sayur".
Tulisan
ini disumbangkan untuk jadi artikel situs Si-Nergi
0 komentar:
Posting Komentar