Hari
Kartini yang kita peringati tiap tanggal 21 April kemarin, nyatanya masih
meninggalkan sebuah perdebatan yang menurut saya tidak akan ada ujungnya.
Kenapa? Saya berpikir sederhana. Lah wong mereka sudah wafat. Kenapa sampeyan malah sibuk mbandingi mereka. Saya pribadi jadi ya
merasa prihatin. Mereka itu korban. Kok? Iya, mereka korban bahan perbandingan sampeyan sekalian.
Sampeyan tuh lupa kalau mereka (Kartini, Cut Nyak Dhien, Dewi
Sartika, Martina Tiahahu) sama-sama perempuan. Bayangkan, perempuan mana yang
suka dibanding-bandingkan? Perempuan mana?
Ini tidak
hanya bagi perempuan saja lho ya,
saya sendiri sebagai seorang laki-laki sangat menolak dibandingkan dengan
laki-laki lain. Apalagi laki-lakinya lebih segalanya, dunia akhirat saya ndak ridho.
Membandingkan
perempuan Kartini dengan pahlawan perempuan lain adalah durjana. Sama
durjananya mutusin pacar dengan
kata-kata “aku mau fokus belajar”
atau “pasti kamu dapat yang lebih baik
dari aku”.
Masih
banyak hal yang seharusnya sampeyan
kritisi di Hari Kartini daripada masih mbandingi
siapa yang lebih pantas jadi pahlawan. Contoh yang paling sederhana, sampeyan bisa mengkritisi potret Kartini
masa kini yang sudah sulit membedakan mana gelap mana terang, tentang mama-mama
muda yang rela merogoh sakunya lebih dalam untuk menjahit kebaya supaya anaknya
terlihat paling “ayu” di sekolah, atau sampeyan bisa mbahas Kartini yang sekarang
semakin kreatif dan terampil. Itu jauh menarik. Bagi saya lho, ndak tahu bagi sampeyan.
Melalui
momen Kartini yang sudah lewat beberapa hari ini, saya pribadi dengan segala
kerendah-hatian ingin mengajak kepada sampeyan
sekalian. Mari kita kesampingkan dulu perkoro
sopo sing pantes dadi pahlawane. Tak elok kiranya kita menggugat-gugat
salah satu sembari menonjol-nonjolkan yang lain, apalagi dengan motif sesuku
atau seagama.
Saat ini,
seperti yang saya bilang tadi, banyak lho
Kartini-kartini baru muncul dengan keterampilan dan kreativitas serta
ide-ide yang cemerlang. Mereka mencari jalan keluar di tengah problematika yang
mengharuskan seorang perempuan tugasnya hanya sebatas “dapur, sumur, kasur”. Loh,
bukannya Kartini ‘sudah’ berhasil menghapus paradigma seperti itu? Tunggu dulu.
Siapa bilang pandangan tersebut sudah hilang, buktinya masih banyak orang yang
berpendapat bahwa tugas seorang ibu ya mengurus suami, anak, dan rumah tangga.
Artinya, pandangan bahwa perempuan itu hanya di dapur, sumur, dan kasur tetap
ada, hanya berubah istilah. Belum lagi masih ada sikap sentimen di masyarakat
kalau melihat perempuan (istri) yang bekerja seakan telah mengabaikan tugas
utamanya. Ini bagi saya lho ya.
Perempuan
memang tidak seratus persen lepas dari pandangan tersebut, namun mereka juga
tidak kehabisan ide menyiasati ploblematika yang selama ini membelenggunya. We lah dalah. Saat ini, banyak kok Kartini-kartini yang tetap mampu
berbisnis (mencari uang) atau menjadi pelaku industri tanpa mengabaikan
kodratnya sebagai seorang perempuan. Sampeyan
ndak percoyo?
Saat ini,
banyak perempuan-perempuan (ibu-ibu) yang berhasil menjalankan usaha rumahan,
contohnya mengembangkan usaha catering
atau kue. Dari usahanya, ndak sedikit
ibu-ibu yang berhasil menjalankan bisnis tersebut. Apalagi penggunaan gas bumi
yang diberikan PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN) turut memberikan sumbangsih
yang signifikan bagi pelaku Usaha Kecil Menengah yang dilakukan para ibu-ibu
tadi. Sampeyan pasti bingung, kok jadi ngomongi gas bumi. Begini
penjelasannya.
Alasan
saya mengaitkan keberhasilan ibu-ibu menjalankan usaha rumahannya dengan peran
PGN, ya karena memang ada buktinya.
Masih ndak percoyo?
Buktinya
saya rilis dari Merdeka.com, yang memberitakan
bahwa pengusaha kue di Surabaya berhasil menghemat biaya produksi hingga
Rp500.000 setelah beralih menggunakan gas bumi. Sebelumnya, sampeyan harus tahu kalau di Surabaya
sana ada namanya Kampung Kue, di mana sekitar 30 dari 42 UMKM yang ada,
rata-rata sudah menggunakan bahan bakar gas bumi dalam memasak kue-kue kering.
Salah
satu dari 30 UMKM yang menggunakan gas bumi adalah Elfa Susanti. Belio adalah pemilik usaha kue Die Va Cake & Cookies. Sejak empat
tahun lalu menggunakan gas bumi PGN, belio
mengaku lebih hemat dibanding menggunakan gas elpiji. Katanya lagi, sebelum
memakai gas bumi, belio yang
memproduksi kue basah, seperti pie, soes, lemper, ketan srikaya hingga putri
mandi mengeluarkan biaya bahan bakar gas elpigi sebesar Rp700.000 hingga
Rp900.000 per bulan. Sekarang coba sampeyan
bandingkan ketika Ibu Elfa ini menggunakan gas bumi. Belio hanya perlu mengeluarkan biaya produksi sebesar Rp250.00 per
bulan. Luar biasa hemat bukan? Luar biasa cerdas Kartini sekarang. Pintar ngurus rumah tangga, bisnis, dan pintar
mengatur ekonomi.
Satu lagi
yang harus sampeyan tahu. Kue-kue
buatan Ibu Elfa ini bahkan sampai dilirik beberapa hotel bintang tiga di
Surabaya, dan setiap harinya tidak kurang 300-500 kue buatan belio laris manis terjual.
Kalau
sudah begini, artinya ibu-ibu atau Kartini-kartini sekarang berhasil keluar
dari pandangan bahwa perempuan hanya cukup di “dapur, sumur, dan kasur”.
Bahkan, belio-belio ini sedikit
banyak turut membantu perekonomian negara. Ndak
kayak sampeyan yang masih sibuk berdebat siapa yang pantas jadi pahlawan.
Tulisan ini disumbangkan
untuk jadi artikel situs Si-Nergi
0 komentar:
Posting Komentar