Mendung mengantarkan pagi pada sebuah awal cerita. Para lelaki yang sibuk menuju tempat kerja, anak-anak yang berangkat sekolah, atau kaum ibu yang bergegas menuju rumah majikan. Potret kehidupan tempat tinggalku. Setiap pagi, setiap hari.
Secangkir kopi
dalam balutan mocca tersaji
bersama tulisan ini. Kau masih
menjadi teman setia ceritaku dalam
keadaan apapun. Meski sekarang aku mulai jengkel, karena banyak orang yang
memanfaatkanmu hanya untuk sekadar terlihat filosofis. Kepahitanmu diperalat
mereka yang ingin dilihat. Ya sudah, lupakan dulu mereka, karena saat ini aku
tak mau menyia-nyiakan waktu bersamamu.
Kau percaya
masih ada orang baik di dunia ini. Kalau aku, tentu masih percaya. Meski
jumlahnya tak sebanding dengan orang picik. Mereka adalah pembeda di tengah
kehidupan yang serba fana ini. Dari semua pernyataan yang telah aku lontarkan
padamu selama ini, untuk yang satu ini
kau harus setuju denganku. Kalau kau sudah tidak percaya lagi ada orang baik,
artinya dunia yang fana ini sudah akan kiamat. Bagaimana? Setuju? Ayolah.
Kenapa kau
tiba-tiba membahas ini padaku. Padahal matahari belum akan terbit. Lagipula,
biasanya sepagi ini kau asik mendengarkan musik atau menyelami buku-buku
bacaanmu. Sekarang kau berubah seperti orang yang terlalu serius. Kaku.
Entahlah, aku
sendiri heran kenapa bisa seperti ini. Apakah kau mau mendengar ceritaku? Diam
berarti iya. Baiklah aku akan ceritakan padamu.
Semalam, hanya
sekian ratus meter lagi aku sampai di rumah, tetiba handphone di kantongku bergetar. Sebuah nomor baru, tetapi setelah mendengar suaranya aku langsung tahu.
Dalam telepon tersebut, dia mengatakan bahwa aku tidak direkomendasikan untuk
mengisi posisi yang tadinya sempat ditawarkan. Aku sendiri tidak tahu pasti
alasannya apa. Cuma aku berpikir positif, mungkin ini karena kesalahanku dulu.
Meski aku sendiri merasa tidak pernah
melakukan apa-apa. Itulah manusia, mudah mendendam tapi mudah melupakan
kesalahannya sendiri.
Kau tentu sudah
bisa meramalkan apa yang terjadi
denganku setelah mendengar berita itu, karena posisi itu salah satu yang
kuharapkan. Namun, kenyataan bicara lain. Sepanjang Senin yang syahdu seakan
berubah pilu. Jalan yang hanya tinggal
setapak seakan terasa jauh dan gelap. Aku
seperti meratapi dinding buta. Bukan. Bukan karena kegagalanku, tapi
karena cara yang mereka lakukan tidak bisa kuterima. Mereka seakan sudah sangat
paham tanpa perlu diriku menjelaskan. Kehebatan lain dari manusia: dia setara
Tuhan, mungkin juga seperti Fir’aun yang takut hilang kedudukan. Entahlah.
Kau benar, apa
guna sesal. Semua sudah terjadi dan digariskan. Hanya tinggal bagaimana caraku
menemukan ujung garis yang tepat untuk mencapai tujuan. Ya, aku juga setuju
denganmu bahwa yang harus kulakukan saat ini adalah kembali banyak membaca dan
tetap mengasah kemampuan menulisku.
Menulis apapun, menulis dengan jujur.
“KARENA MENULIS MEMBUAT KITA ABADI”.
Terimakasih ya, tidak sia-sia aku bercerita padamu.
Sudut kamar,
akhir Januari, 2017