Ada berbagai macam cara untuk menjabarkan hubungan sastra dengan pemikiran. Sastra sering dilihat sebagai suatu bentuk filsafat, atau sebagai pemikiran yang terbungkus dalam bentuk khusus. Dapat dikatakan bahwa dalam hal ini sastra dianalisis untuk mengungkapkan pemikiran-pemikiran hebat. Sebaliknya, ada pandangan yang meragukan kandungan filsafat pada karya sastra. Merujuk kepada pandangan George Boas yang menyatakan bahwa pemikiran dalam puisi biasanya basi, dan sering kali salah, dan tidak ada orang di atas enam belas tahun yang menganggap puisi bernilai karena isinya.
Wellek dan Warren memiliki pandangan bahwa mereka setuju dengan apa yang dikatakan Boas. Hal tersebut berdasarkan pada alasan bahwa banyak orang melebih-lebihkan kadar ilmiah puisi. Padahal, banyak puisi yang terkenal karena filsafatnya, ternyata hanya berbicara tentang hal-hal yang umum, seperti kefanaan hidup dan permainan nasib. Mengenai puisi, lebih lanjut Wellek dan Warren memiliki pandangan bahwa pemahaman terhadap keunikan karya sastra akan kacau kalau kita meringkas karya sastra menjadi pernyataan-pernyataan doktrin. Lebih parah lagi akibatnya kalau sekedar mengambil satu atau dua kalimat, atau bagian dari karya sastra, terlepas dari keseluruhan karya itu. Dalam hal ini Wellek dan Warren beranggapan bahwa hal tersebut merusak keutuhan karya dan memasukkan kriteria penilaian asing ke dalam karya sastra.
Ada
sikap ambivalen yang ditunjukkan Wellek dan Warren mengenai sastra dan
pemikiran, di mana mereka berpendapat bahwa karya sastra dapat dianggap sebagai
dokumen sejarah dan filsafat, karena sejarah sastra sejajar dan mencerminkan sejarah
pemikiran. Akan tetapi, mereka juga memberikan perbandingan mengenai “sejarah
pemikiran”. Pertama mereka memberikan gambaran dengan merujuk metode Lovejoy
dalam batasan yang lebih sempit dan jelas. Menurut Lovejoy, metodenya berbeda
dengan sejarah filsafat dalam dua hal. Pertama,
studi filsafat hanya mencakup pemikir-pemikir besar, sedangkan ke dalam
sejarah pemikiran Lovejoy juga memasukkan pemikir-pemikir yang kurang terkenal,
termasuk penyair yang dilihatnya sebagai “turunan” dari pemikir. Kedua, sejarah filsafat mempelajari
sistem-sistem besar, sedangkan sejarah pemikiran menelusuri bagian dari sistem
itu, yaitu motif-motif pribadi.
Mengenai
batasan yang dikemukakan Lovejoy, Wellek dan Warren memiliki keraguan.
Menurutnya sejarah konsep-konsep filsafat, bagaimanapun juga harus harus tetap
dimasukkan ke dalam dalam sejarah filsafat. Dalam hal ini, mereka membandingkan
dengan apa yang diungkapkan oleh Hegel dan Windelband yang mengatakan bahwa
dalam mempelajari bagian-bagian pemikiran tanpa melihat keseluruhan sistem,
sama seperti mempelajari sejarah sastra hanya dari sejarah puisi, diksi, atau
pencitraan. Keduanya sama-sama berat sebelah. Hal ini menimbulkan pengertian
bahwa sejarah pemikiran adalah suatu pendekatan khusus, yang memakai sastra
hanya sebagai dokumen dan contoh saja.
Pada
kesusastraan lain, Wellek dan Warren berpandangan bahwa studi pengaruh
pemikiran pada karya sastra mungkin lebih kaya lagi. Akan tetapi, pada akhir
atau awal penelitian mengenai sastra dan pemikiran ini, Wellek dan Warren mengajukan
beberapa pertanyaan terhadap sejumlah pertanyaan yang jarang dijawab secara
tuntas. Pertama, sejauh mana gaung para filsuf dalam karya pengarang menentukan
pandangan pengarang itu sendiri? Seberapa jelas dan sistematis pandangan
melakukan anakronisme (ketidakcocokan) jika berasumsi bahwa seorang sastrawan
berabad-abad yang lalu mempunyai pandangan filsafat pribadi? apakah pada waktu
itu ada kebutuhan untuk itu? Apakah mereka hidup dalam masyarakat yang
mendorong pemilikan pola pendapat pribadi? Sekalipun jika melihat
pengarang-pengarang yang sangat sadar diri, atau filsuf yang mencoba menulis
puisi filosofis. Wellek dan Warren juga
mengajak untuk perlu mempertanyakan apakah puisi semakin tinggi nilainya
jika berbau filosofis. Apakah puisi dapat dapat dinilai berdasarkan nilai
pemikiran yang dianutnya? Ataukah karya sastra dinilai berdasarkan keaslian
pemikirannya, berdasarkan kemampuannya mengubah pemikiran tradisional?
Berdasarkan
pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, mereka berpandangan bahwa
pertanyaan-pertanyaan tersebut mencerminkan kesalahan membuat kriteria,
kesalahpahaman tentang cara masuknya pemikiran ke dalam kesusastraan dan
kecenderungan mencampuradukkan fungsi seni dengan fungsi filsafat. Lebih
lanjut, merujuk kepada apa yang diungkapkan Rudolf Unger, ia menyatakan bahwa
sastra bukanlah filsafat yang diterjemahkan dalam bentuk pencitraan dan sajak,
melainkan ekspresi suatu sikap yang umum terhadap kehidupan. Jika melihat pemaparan
yang dilakukan Unger, Wellek dan Warren melihat bahwa sebagian permasalahan
yang dicatatnya bersifat filosofis. Artinya, dalam hal ini Wellek dan Warren
dengan memakai istilah yang digunakan Sidney, menarik kesimpulan bahwa
pengarang berfungsi sebagai filsuf populer. Sementara itu, sebagian
permasalahan lainnya termasuk masalah perasaan dan cara berpikir, bukan
pemikiran.
Wellek
dan Warren juga beranggapan bahwa hubungan yang padu antara filsafat dan sastra
sering hanya merupakan ilusi saja. Hubungan yang padu dibuktikan atas dasar
penelitian tentang ideologi sastra, pernyataan tentang tujuan penulisan, dan
rencana-rencana yang tidak langsung berkaitan dengan penciptaan karya sastra yang
sebenarnya. Sastrawan sering mempunyai afiliasi sosial dan latar sosial yang
berbeda dengan filsuf. Filsafat lebih banyak berkaitan dengan lembaga Gereja
dan Akademi daripada sastra. Filsafat mempunyai sejarah dan dialektikanya
sendiri, serta mempunyai aliran dan gerakan-gerakannya sendiri.
Di
akhir pembahasan, Wellek dan Warren kembali mengajukan pertanyaan yang perlu
dijawab, yaitu bagaimana dan kapan pemikiran masuk kesusastraan. Berdasarkan
pertanyaan tersebut, mereka meluruskan yang dimaksud dengan pemikiran di sini
bukan pemikiran yang dipakai hanya sebagai bahan mentah atau informasi. Permasalahan
masuknya pemikiran dalam kesusastraan baru muncul kalau pemikiran mulai
diwujudkan dalam tekstur karya sastra dan menjadi bagian dari karya sastra.
Artinya, dengan kata lain, ini terejadi kalau pemikiran berubah dari pemikiran
dalam arti biasa menjadi simbol atau mitos. Dapat dissimpulkan, pendapat Wellek
dan Warren di akhir pembahasan adalah filsafat dan pemikirandalam konteks
tertentu menambah nilai artistik karya sastra karena mendukung beberapa nilai
artistik penting, seperti kompleksitas dan koherensi. Pemikiran teoretis dapat
memperdalam jangkauan sastrawan, tetapi terlalu banyak ideologi yang tidak
disatukan dengan unsur-unsur karya sastra, justru dapat menganggu.
Ciputat, Akhir Januari 2015
Fahrudin Mualim (Arul)